Alfaqih Warsono
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ
مِنْ عِبَادِهِ لِحِفْظِ حُدُوْدِهِ ، وَأَعَانَهُمْ بِمَنِّهِ وَفَضْلِهِ عَلَى
اْلقِيَامِ بِحُقُوْقِهِ ، حَفِظُوْا حُدُوْدُ اللهِ فَحَفِظَهُمُ اللهُ ،
وَاتَّجَهُوْا بِقُلُوْبِهِمْ إِلَى اْلإِسْتِعَانَةِ بِرَبِّهِمْ فَأَعَانَهُمُ
اللهُ .عَلِمُوْا أَنَّ اْلأَمَّةَ لَوِاجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَنْفَعُواا
لْعَبْدَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْهُ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَهُ،
فَعَلَّقُوْا رَجَاءَهُمْ بِهِ، وَأَيْقَنُوْا أَنَّ اْلأَمَّةَ لَوِاجْتَمَعُوْا
عَلَى أَنْ يَضُرُّوااْلعَبْدَ بِشَيْئٍ لَمْ يُضِرُّوْهُ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ ، فَاعْتَمَدُوْا عَلَيْهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ،
وَبِيَدِهِ مَلَكُوْتُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ
قَدِيْرٌ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، اْلبَشِيْرُ
النَّذِيْرُ ، السِّرَاجُ الْمُنِيْرُ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ،
وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىْ يَوْمِ الدِّيْنِ،
وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Kita telah mengetahui,
bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya. Setelah itu
Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan membalas pahala
amal ibadah, sesuai dengan tingkatannya. Namun, kita perlu menyadari, bahwa
amal ibadah kita, tidak semua akan diterima. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menetapkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Jika amal seseorang telah memenuhi
persayaratan itu, berarti amalnya akan diterima Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan jika kurang,
maka akan ditolak. Sebagai seorang muslim yang menghendaki agar amal ibadahnya
diterima dan mendapatkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin
untuk mengetahui dan selanjutnya memenuhi persyaratan itu. Sebab, apalah
artinya amal banyak, namun tidak mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala?! Bahkan justru
sebaliknya, menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sia-sialah kita dalam beramal, kalau pada
akhirnya akan ditolak dan dikembalikan kepada kita.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Dalam Alquran Surat
Al-Furqan, Allah telah berfirman,
وَقَدِمْنَآ إِلَى مَاعَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَّنثُورًا
“Dan Kami hadapi segala
amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ibnu Katsir
menjelaskan, ini merupakan kejadian pada hari kiamat. Yaitu pada saat amal-amal
dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui surat ini Allah Subhanahu wa Ta’alamemberitahukan, bahwasanya amalan-amalan orang
kafir dan musyrik tidak menghasilkan apa-apa, berapa pun banyaknya. Karena
amalan-amalan mereka itu tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Belum cukupkah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mendorong kita untuk mempelajari syarat diterimanya
amal?
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Amal ibadah akan
diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika memenuhi dua syarat. Pertama, Ikhlas. Artinya, beribadah hanya kepada-Nya
saja dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah
tidak menerima satu amalan, kecuali amalan yang diikhlaskan untuk-Nya dan untuk
mencari wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesunguhnya amal itu
tergantung niatnya.”
Dalam hadis lain,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ
وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah
tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat
kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Masalah keikhlasan ini
berkaitan dengan hati. Dan masalah hati tidak bisa dipisahkan dengan niat.
Perkara ini terkadang banyak diremehkan oleh manusia, sehingga merasa tidak
perlu lagi mengoreksi hati. Tidakkah kita mengetahui, bahwa masalah ini
dianggap besar oleh para ulama salaf? Tengoklah yang dikatakan oleh Sufyan Tsauri,
“Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku. Karena dia
berbolak-balik.”
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Itulah pandangan ulama
salaf dalam masalah hati. Masalah hati sangat mereka perhatikan ketika beramal.
Sehingga dalam sejarah perjalanan hidup mereka, kita mendapati berbagai macam
usaha yang mereka lakukan untuk menjaganya, dan menutup pintu masuk setan yang
hendak membelokkannya. Ingatlah, setan merupakan musuh orang-orang beriman. Dia
tidak akan pernah tinggal diam. Dia akan selalu berusaha dengan segala cara
untuk menggoda manusia, sehingga rusaklah amal.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Syarat kedua agar diterimanya amal
seseorang, ialah ittiba. Artinya, amal ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliaulah utusan
Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya. Sebagai utusan-Nya,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mengetahui
tentang risalah-Nya. Dan semuanya sudah disampaikan oleh beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka sudah
seharusnya kaum muslimin mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Demikian itulah dua
syarat yang disimpulkan oleh para ulama dari banyak dalil, baik dari Alquran
maupun sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua syarat inilah yang akan menentukan
amal kita diterima ataukah ditolak. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka
tidak akan diterima. Jika persyaratan yang tidak terpenuhi itu syarat yang
pertama, maka si pelaku bisa terjerembab ke dalam lembah kesyirikan, wal’iyadzubillah. Sedangkan jika yang tidak terpenuhi itu
syarat yang kedua, maka si pelaku masuk ke dalam perbuatan bid’ah yang sesat.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Imam Ibnul Qayim
mengatakan, “Seseorang tidak akan mungkin bisa merealisasikan iyyaka
na’budu (maksudnya peribadatan
kepada Allah), kecuali dengan dua dasar. Yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam).
Fudhail Bin Iyadh,
menjelaskan makna ayat,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati
dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Maksud kalimat ahsanu amalan ialah yang paling ikhlas dan paling benar
amalnya. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali. Apa yang dimaksud dengan yang
paling ikhlas dan paling benar amalnya?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya amal
itu, jika dikerjakan ikhlas karena Allah akan tetapi tidak sesuai dengan
tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak akan diterima Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Demikian juga jika
amal itu benar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak
ikhlas, maka tidak diterima Allah sampai amal tersebut memenuhi dua syarat,
yaitu ikhlas dan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Hujajul Qawiyyah, Hal. 12)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Amalan-amalan yang
telah memenuhi kedua syarat tersebut, dinamakan dengan amal shalih. Allah telah
menjelaskan dalam firman-Nya,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Juga dalam firman-Nya,
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ
مُحْسِنُ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ
يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri
kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada
sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:
112)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Sebagai seorang
muslim, kita harus berusaha untuk mewujudkan kedua persyaratan tersebut ketika
beramal. Rasanya sulit bagi kita untuk mewujudkannya, kecuali dengan senantiasa
belajar dan belajar lagi. Dan alhamdulillah, pada saat ini kita tidak terlalu kesulitan
mempelajari agama kita. Berbagai media telah dimanfaatkan oleh para dai untuk
membantu kita dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bagaimanakah kita sekarang. Maukah
kita mempelajari agama ini untuk memperbaiki amaliah kita ataukah tidak?
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kemudahan untuk
mempelajari, memahami dan selanjutnya mengamalkan ilmu yang sudah kita terima.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْانِ
الْعَظِيْمِ , وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ , أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله َلِيْ
وَلَكُمْ وَلِكَافَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ , فَاسْتَغْفِرُوْهُ
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.