Kamis, 03 November 2011

Pentingnya Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Al Faqih Warsono



إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ  اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.   يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...

Jama’ah shalat jum’at yang berbahagia,
Keimanan seseorang bisa berubah-ubah, dapat meningkat juga dapat merosot tajam. Keimanan akan meningkat dengan amalan shalih yang dikerjakan. Dan kemerosotannya disebabkan terjadinya pelanggaran syari’at dan maksiat. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan keimanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak dengan sanad hasan, yang artinya,“Sesungguhnya keimanan dapat menjadi lekang, bagaikan baju yang bisa berubah usang. Karena itu, mintalah kepada Allah agar Allah memperbaharui iman dalam hati kalian.”
Oleh karena itu marilah kita meningkatkan taqwa kita kepada Allah Ta’ala karena taqwa adalah sebaik-baik bekal bagi seorang hamba dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirat.

Kaum Muslimin Jama’ah Jum’at rahimakumullah.
Amar ma’ruf nahi munkar yang oleh sebagian ulama disamakan dengan dakwah adalah suatu kewajiban mulia di dalam Islam yang dengannyalah Allah Ta’ala menjadikan umat ini sebagai umat terbaik, sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam surat Ali Imran;110:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Di dalam menafsirkan ayat ini Syaikh as-Sa’di Rahimahullah berkata, “Allah memuji umat ini dan Dia mengabarkan bahwa mereka adalah umat terbaik yang Allah lahirkan untuk manusia. Hal ini karena mereka menyempurnakan diri mereka dengan iman, yang mengharuskan mereka untuk menunaikan semua perintah Allah dan karena mereka menyempurnakan orang lain dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, yang di dalamnya terkandung dakwah ke jalan Allah, kesungguhan mereka di dalam dakwah tersebut dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka di dalam mengembalikan manusia dari kesesatan dan kesalahan mereka (menuju ke jalan hidayah).
Maka, dari ayat ini, kita tahu bahwasanya kemuliaan dan kebaikan umat ini salah satunya disebabkan karena adanya amar ma’ruf nahi munkar dan sebaliknya apabila mereka meninggalkan hal ini, maka akan terjadi banyak sekali akibat buruk yang menimpa umat ini, dan di antara dampak-dampak tersebut adalah:
1. Hilangnya rasa aman, baik di tingkat pribadi maupun masyarakat. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala dalam surat Toha 123-124:
قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعاً بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى .وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
"Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh sebahagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripadaKu, lalu barangsiapa mengikuti petunjukKu, ia tidak akan seat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha: 123-124)
Berkata Syaikh Asa’di di dalam tafsir beliau mengikuti kebenaran dengan cara membenarkan kabar al-Qur`an dan tidak membantahnya dengan syubhat dan mengamalkan perintah dengan tidak menentangnya dengan syahwat. Maka syubhat dan syahwat keduanya adalah penghalang terwujudnya perintah Ilahi dan ditinggalkannya laranganNya. Maka apabila kita perhatikan kondisi dunia saat ini, khususnya masyarakat yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, bahwa mereka menolak hukumNya, maka kita dapatkan mereka tenggelam di dalam syubhat dan syahwat dan tersebarlah di dalam masyarakat tersebut kejahatan baik secara fisik maupun maknawi dan hilanglah rasa aman di dalamnya. Tentunya hal ini disebabkan karena tidak adanya amar ma’ruf, adapun negeri-negeri yang di dalamnya ditegakkan amar ma’ruf tidak demikian.
2. Tersebarnya kerusakan di dalam kehidupan bermasyarakat, ekonomi maupun politik. Kerusakan ini ditimbulkan apabila generasi ini tumbuh tanpa ada perbaikan/ amar ma’ruf nahi munkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan tentang hal ini dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari sahabat Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَثَلُ القَائِمِ في حُدُودِ اللهِ وَالوَاقعِ فِيهَا ، كَمَثَلِ قَومٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَصَارَ بَعْضُهُمْ أعْلاها وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، وَكَانَ الَّذِينَ في أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقهُمْ ، فَقَالُوا : لَوْ أنَّا خَرَقْنَا في نَصِيبِنَا خَرْقاً وَلَمْ نُؤذِ مَنْ فَوقَنَا ، فَإِنْ تَرَكُوهُمْ وَمَا أرَادُوا هَلَكُوا جَميعاً ، وَإنْ أخَذُوا عَلَى أيدِيهِمْ نَجَوا وَنَجَوْا جَميعاً
“Perempumaan orang yang menegakkan hudud (hukum) Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang melakukan undian di atas kapal, maka sebagian mereka mendapatkan bagian di lantai atas dan yang lain di lantai bawah. Maka apabila yang berada di lantai bawah hendak mengambil air, mereka melewati orang-orang yang berada di lantai atas. Maka mereka pun berkata-kata seandainya kami melubangi yang menjadi bagian kami (bagian bawa kapal), tentu kami tidak mengganggu orang-orang yang di atas kami (karena tidak melewati mereka ketika mengambil air). Maka apabila mereka dibiarkan melakukan apa yang mereka inginkan, maka binasalah semuanya, dan apabila mereka dicegah (dari niatnya), maka selamatlah mereka dan selamatlah seluruh penghuni kapal.” (Al-Bukhari)
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, maknanya yang melarang dan yang dilarang selamat semuanya. Dan demikianlah menegakkan hudud (Allah) akan mewujudkan keselamatan bagi yang menyuruh dan orang yang disuruh apabila tidak maka binasalah pelaku kemaksiatan karena maksiatnya dan orang yang diam (tidak mencegahnya) karena ridhanya mereka. Beliau berkata lagi di dalam hadits ini ada penjelasan bahwa turunnya adzab karena ditinggalkannya amar ma’ruf nahi munkar.
3. Paceklik, kekeringan yang panjang dan hilangnya keberkahan pada rizki-rizki mereka. Hal ini dikarenakan banyaknya kamaksiatan yang dilakukan dan tidak ada yang menasehati dan mendakwahi mereka untuk meninggalkan kemaksiatan mereka, sebagaimana firman Allah,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)
Dan amar ma’ruf tujuan intinya adalah menyeru kepada keimanan dan berdakwah kepada ketaqwaan. Maka dengan amar ma’ruf dan nahi munkar turunlah keberkahan di dalam rizki-rizki mereka dan dengannya pula dihapuskan segala kesalahan, Nabi bersabda,
فِتْنَة الرَّجُل فِي أَهْله وَمَاله وَوَلَده , تُكَفِّرُهَا َالصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْي عَنْ الْمُنْكَر
“Fitnah (dosa/ keburukan) seseorang di dalam keluarganya, hartanya dan anaknya dihapuskan oleh shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar.” (Al-Bukhari)
4. Tidak diijabahnya do’a, dan ini adalah perkara yang mengerikan karena seseorang hamba sangat fakir kepada Allah, maka apabila dia berdo’a kemudian tidak dikabulkan oleh Allah, maka dia termasuk orang yang celaka. Tidak terkabulnya do’a karena ditinggalkannya amar ma’ruf. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيبُ لَكُمْ
“Demi yang jiwaku di tanganNya hendaklah kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar, atau (kalau tidak) hampir-hampir Allah akan menurunkan adzab kepada kalian kemudian kalian kemudian kalian berdo’a dan tidak dikabulkan.”
5. Turunnya berbagai macam musibah ,baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Apabila dalam suatu negeri tidak ditegakkan amar ma’ruf dan tidak ada pengingkaran terhadap kemungkaran dan kemaksiatannya. Dan kemaksiatan apabila tersembunyi, maka dampaknya hanyalah untuk pelakunya saja. Adapun apabila dilakukan dengan terang-terangan dan tidak ada yang mengingkarinya, maka dampaknya akan menimpa seluruh manusia, ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal: 25.
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaanNya.”(Al-Anfal: 25)
Maka tidaklah terjadi musibah dan fitnah yang menimpa kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia saat ini, melainkan karena tersebarnya kamaksiatan dan kebanyakan manusia tidak peduli lagi dengan amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu cermatilah firman Allah,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud: 117)
6. Turunnya laknat yaitu dijauhkan dari rahmat Allah, karena laknat tidak terjadi melainkan karena seseorang melakukan dosa besar. Dan Allah telah mengabarkan bahwasanya Dia telah melaknat orang-orang sebelum kita yaitu Bani Isra`ilk arena mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Allah Ta’ala berfirman,
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Ma`idah:78-79)
7. Punahnya hukum dan syiar Islam.
Ini adalah bahaya yang paling besar dari sekian bahaya ditinggalkannya amar ma’ruf nahi munkar. Karena tidaklah hukum-hukum Islam dan syiar-syiarnya menjadi asing melainkan karena mereka tidak mengenal Islam. Hal itu disebabkan karena tidak adanya para penyeru kepada yang ma’ruf dan penentang kemungkaran. Maka kita dapati saat ini orang-orang Islam yang justru mempermainkan dan memperolok-olok hukum dan syiar Islam. Padahal memperolok-olok dan mempermainkan syariat Islam adalah salah satu perbuatan yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam, maka hendaklah kita berhati-hati dari hal yang demikian. Demikian bahaya-bahaya ditimbulkan ketika kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, maka dari sini kita tahu betapa pentingnya perkara ini. Untuk itu supaya kita terbebas dari bahaya-bahaya di atas.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ.

PENTINGYA DZIKIR KEPADA ALLAH

Al Faqih Warsono


 

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
اَمَّا بَعْد:

Salah satu penanda bersemayamnya cinta di hati seorang pecinta dengan objek yang dicinta adalah seringnya menyebut-nyebut nama objek yang dicintai dan selalu mengingatnya di manapun dan kapan pun. Begitu juga seorang hamba yang mencintai Tuhannya. Senantiasa terjaga dalam kondisi ingat dan menyebut nama Allah di setiap kesempatan. Itulah Dzikrullah. Dzikir bisa dilakukan dalam berbagai macam kegiatan,  membaca Al-Qur’an, melafalkan kalimat-kalimat Thoyyibah seperti  Tasbih, Takbir, Tahlil, Tahmid dan salah satu bentuk dzikir juga adalah dengan menegakan shalat baik yang fardhu’ atau sunah.  Shalat adalah salah satu bentuk dzikir yang terbesar  keutamaannya. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. Al-Ankabut : 45)
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Seorang yang selalu menjaga untuk ingat kepada Allah, maka Allah akan membersamainya. Dan bila Allah membersamai maka hamba tersebut tidak akan mungkin bermaksiat kepada-Nya. Dzikrullah akan menumbuhkan rasa muraqobbah merasa dalam pengawasan Allah. Sehingga terbingkai perilakunya dalam akhlak mulia yang terjaga dari perbuatan dosa.

Selain agar kita terjaga dari perbuatan dosa dan selalu merasa terawasi oleh Allah. Dzikir juga memiliki tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi seorang hamba.

1. Dzikir dapat memperbarui keimanan serta memperkokoh hubungan dengan Allah
 
“Al-imanu yazidu wa yankus, iman itu bisa naik dan bisa turun” begitu Rasulullah mengingatkan dalam sabdanya.
Secara prinsip, iman dapat naik bersamaan dengan bertambahnya ketaatan kepada Allah swt.  Sebaliknya, iman dapat turun bersamaan dengan semakin berkurangnya ketaatan kepada Allah swt. (banyak maksiat). Dan dzikir adalah upaya untuk menjaga agar iman tetap berada dalam jalurnya yaitu ketaatan agar selalu meningkat pesat. Dzikrullah akan membawa konsekuensi seorang hamba dekat dengan Allah dan merasa terawasi oleh-Nya sehingga tidak mungkin berani untuk melanggar larangan-Nya.

2. Dzikir sebagai bentuk ungkapan syukur

Syukur adalah sebuah ungkapan mulia penanda cinta.  Ungkapan terima kasih atas pemberian nikmat yang tiada terhingga dan tak terdustai di setiap jengkal, hasta, dan depa kehidupan. Semua adalah dari Allah. Maka seorang hamba yang baik pastilah senantiasa ingat untuk mensyukuri segala apapun yang Allah beri.  Yang dengan kesyukuran itu maka Allah menambah nikmat kepada hambaNya.
لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim : 7)

Bahkan Rasulullah pun yang telah dijaminkan surga dan dimakshumkan dari perbuatan dosa. Beliau saw, tetap menjalankan dzikir sebagai sebuah penanda syukur. Dikisahkan dari Ummul Mukmin Aisyah, bahwa pernah menjumpai rasulullah shalat malam hingga tumitnya bengkak-bengkak. Subhanallah.
Aisyah r.a. menuturkan, “Rasulullah saw. pernah bangun malam (shalat tahajud) hingga kedua kakinya bengkak. Aku bertanya kepada beliau, ‘Mengapa engkau melakukan hal ini, padahal dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni?’ Beliau menjawab, tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

3. Dzikir membuat tenteramnya hati

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“..... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Rad : 28)

Banyak dan peliknya permasalahan kehidupan terkadang membuat seseorang  resah gelisah, sehingga  menjadikan putus harapan bila  target-target yang dicanangkannya tidak tergapai. Frustrasi, stress, mungkin itu adalah gambaran yang selalu muncul ketika menghadapi kegagalan. Tapi tidak bagi orang yang senantiasa menjaga jiwanya untuk selalu ingat kepada Allah. Seorang yang ingat kepada Allah akan merasa tenteram, semua itu berdasar karena keyakinan bahwa  ada yang mengatur seluruh kehidupan, dan menyakini bahwa pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik dari semua pilihan yang kita miliki.
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 216)

Karena keyakinan inilah maka seorang hamba  tidak akan bersikap berlebih-lebihan ketika ditimpa ujian baik ujian kelapangan maupun kesempitan. Semuanya adalah sama dan tersikapi dengan sikap yang terbaik.  Seandainya tertimpa kemalangan, maka kesabaran akan menjaga nya dari keputusasaan. Karena yakin bahwa kemalangan ujian yang dihadapinya telah terukur “Laa yukalifullahu nafsan illa wus’aha”.

4. Dzikir menumbuhkan optimisme dan  produktivitas beramal dan bekerja

Selain menumbuhkan ketenteraman hati, dzikir juga mampu melahirkan semangat untuk produktif dalam melahirkan amal-amal.  Semua itu terbingkai  dalam muraqabah  merasa terawasi oleh Allah. Sehingga memacu untuk memberikan yang terbaik untuk Allah.  Konsep IHSAN, beribadah laksana dilihat oleh Allah.
Dalam Hadits Arbain yang ditulis oleh Imam An Nawawi, Hadits yang kedua yang sanadnya berasal dari Umar bin al-Khaththab, Nabi saw. bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau.” (H.R. Muslim)
اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَاَنَّكَ تَرَاهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ وَاِنَّهُ يَرَاكَ

Maka seorang hamba yang selalu berdzikir, akan termotivasi melahirkan amal-amal dengan kualitas yang terbaik. Semua itu dilandasi atas dasar ingat selalu dalam pengawasan Allah. Seorang hamba yang berdzikir, akan menyakini bahwa kehidupan dan kematian adalah sebuah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik dalam amal. Maka  berlomba-lomba dalam kebajikan, berfastabiqul khairat adalah suatu keniscayaan.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Dialah yang menjadikan kematian dan kehidupan, untuk menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Al Mulk : 2)

Jika untuk urusan ukhrawi saja sebegitu semangatnya melahirkan amal terbaik. Tentu pulalah di dunia mereka juga lebih bersemangat dan produktif dalam bekerja. Karena dunia adalah ladang amal untuk mempersiapkan bekal akhirat. Maka untuk urusan dunia pun produktikvitas kerjanya tidak perlu diragukan lagi. Semua itu terlandasi oleh semangat ingat  bahwa Allah akan melihat hasil kinerjan
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah : 105)

Demikianlah tadi tentang arti pentingnya berdzikir, yang mampu memberikan efek positif pada seorang hamba. Semoga kita termasuk hamba yang selalu ingat pada-Nya. Amin.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ


Sumber :
AlQuran Digital

Rabu, 31 Agustus 2011

Mengapa Musibah Terus Mendera ?[*]

Al Faqih


Sesungguhnya kami memuji Allâh Tabaraka wa Ta’ala atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama.
Kami bersyukur kepada Allâh Rabbil ‘Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini. Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta’mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar’i.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS al Maidah/5:2)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.
(QS al Maidah/5:2)

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia,
dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allâh.[1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya,[2] merupakan bentuk syukur kepada Allâh Ta'ala.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS Ibrahim/14:7)
Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.
(QS Ibrahim/14:7)

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita.
Allâh Ta’ala berfirman :
(QS an-Nahl/16: 53)
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu,
maka dari Allâh-lah (datangnya).
(QS an-Nahl/16: 53)
Dan sebagaimana firman-Nya:
(QS an-Nahl/16:18)
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allâh,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
(QS an-Nahl/16:18)

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allâh menimpakan adzab- Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allâh, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allâh Ta'ala. Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allâh Ta'ala, dan jalan menuju keridhaan- Nya.
Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.
Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan.[3] Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.
Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?
Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah.
Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allâh Ta'ala bagi umat ini.
Wahai saudara-saudara seagama, Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allâh Ta'ala, dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.
Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allâh, dalam upaya menjalin ta’awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa.
Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.
Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari’at Rabbul ‘Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allâh.
Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Sesungguhnya Allâh tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung,
tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama.
Sehingga ketika tidak tersisa seorang ‘alim pun,
orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh,
lalu orang-orang bertanya kepada mereka,
lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.[4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan.
Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku,
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta.
Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.
Ilmu syar’i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu ‘ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadist
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar’i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS ar-Ra’d/13:11)
Sesungguhnya Allâh tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(QS ar-Ra’d/13:11)

Sungguh, Allâh tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama.
Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
“Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu,
orang yang berkhianat diberi amanat,
orang yang terpercaya dianggap khianat,
orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan,
dan ruwaibidhah akan berbicara,”
para sahabat bertanya,”Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
”Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak”.[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda tentang tabib yang mengobati badan :
hadist
Barangsiapa mengobati,
sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan,
maka dia menanggung. [6]
(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama? Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?
Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allâh, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allâh, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allâh, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?
Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh.
Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi. Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (orang-orang yang melakukan bid’ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya.
Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab[7] ( شَقْحَبُ ) di Damaskus pada abad ke-8.
Beliau rahimahullâh memerangi musuh-musuh Allâh, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullâh memandang ilmu dengan setinggi-tingginya.
Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allâh Ta'ala, dan dalam perkara yang ma’ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini.
Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari’at; mereka ibarat jauh panggang dari api.
Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari’at.
Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allâh Ta'ala mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allâh yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman:
(QS al Anfal/8:29)
Jika kamu bertakwa kepada Allâh,
Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu.
(QS al Anfal/8:29)
(QS ath-Thalaq/65:4)
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh,
niscaya Allâh menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
(QS ath-Thalaq/65:4)

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.
Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al-Kitab dan as-Sunnah?
Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Beliau bersabda:
hadist
Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara.
Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allâh dan Sunnahku.[8]
Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.
Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allâh. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allâh dan Sunnah Nabi.
Saudara-saudaraku seagama,
Demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu. Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid’ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba‘ (mengikuti) Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Allâh Tabaraka wa Ta’ala berfirman tentang beliau:
(QS an-Nur/24:54)
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
(QS an-Nur/24:54)

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid’ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al Hilali pada pembahasan berikutnya.
Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah Rabbil-’Alamin.

[*] Ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Atsari di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, yang diterjemahkan dan dengan penambahan takhrij hadits oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari, dan disunting oleh Tim Redaksi Majalah As-Sunnah.
[1]
Hadits ini kami dapati dengan lafazh:
مَنْ لَـمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَـمْ يَشْكُرِ اللهَ
Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allâh. (HR Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, dan Ibnu Baththah,
dari sahabat an-Nu’man bin Basyir.
Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam ash-Shahihah no. 667.)
[2]
Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita.
[3]
Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum Muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
[4]
Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub salah satau lafazh yang termaktub dalam Shahih al Bukhari :
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْتَزِعُ الْعِلمَ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَـمْ يَبْقَ عَالِـمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَيَسْتَفتُوْهُم فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mencabut ilmu
dari hamba-hamba secara langsung,
tetapi dia mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama.
Sehingga ketika Allâh pun tidak menyisakan seorang ‘alim pun,
lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu.
Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan.
(HR Bukhari, no 100)

[5]
Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari –hafizhahullah- ini secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya :
Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu,
orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar didustakan,
orang yang berkhianat diberi amanat,
orang yang amanat dianggap khianat,
dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu”.
Beliau ditanya: “Apakah Ruwaibidhah?”
Beliau menjawab,
”Seorang yang hina lagi bodoh
(berbicara tentang) urusan orang banyak.”

(HR Ibnu Majah, no. 4036, dari Abu Hurairah,
dishahihkan oleh Syaikh al Albani)

[6]
Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no. 4586, an-Nasa-i no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[7]
Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37 km. Dinukil dari Mauqif Ibni Taimiyyah minal Asya’irah, hlm. 164.
[8]
8) Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik, 2/899, no: 1661 dengan lafazh:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya:
kitab Allâh dan Sunnah NabiNya.
Silahkan lihat at-Ta’zhim wal Minnah fi Intisharis-Sunnah, hlm. 13-14, karya Syaikh Salim al Hilali.


Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah[1]

Al Faqih

(Muqoddimah & struktur bahasa disesuaikan)

Pembahasan seputar fitnah merupakan perkara yang sangat penting. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam banyak memberikan perhatian yang nyata terhadap hal ini. Seorang muslim hendaklah memahami permasalahan ini secara benar, dengan menempatkan nash-nash pada tempatnya. Dia tidak boleh memahaminya dengan apa yang tidak dikehendaki oleh Rabb kita dan Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Ketika mendengar nash-nash tentang masalah ini (masalah fitnah), sepantasnya seorang muslim memahami kulliyyat (hal-hal prinsip) dan perkara-perkara mujmal (global). Hal itu tidak boleh lepas dari perhatiannya selama-lamanya.
Tema yang akan kita bicarakan adalah tentang fitnah, bagaimana kita menjauhinya, dan apa saja hal-hal yang jika kita tempuh akan menjauhkan diri kita dan masyarakat kita dari fitnah.
Sebelum kami sebutkan sebab-sebab (yang menjauhkan diri kita dan masyarakat kita dari fitnah), kami akan menerangkan sebagian perkara yang memiliki hubungan dengan sebab-sebab tersebut. Hal ini sebagai muqaddimah.

PERKARA PERTAMA
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memberikan perhatian (yang besar) terhadap masalah fitnah. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Hudzaifah:
hadits
Suatu hari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
shalat subuh bersama kami, lalu beliau naik mimbar.
Kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu zhuhur tiba.
Lalu beliau turun, kemudian shalat zhuhur bersama kami.
Lalu beliau naik mimbar,
kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu ashar tiba.
Lalu beliau turun, kemudian shalat.
Lalu beliau naik mimbar,
kemudian beliau berkhotbah, sampai matahari tenggelam.
Tidaklah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggalkan
sesuatupun (yang terjadi) sampai hari kiamat,
kecuali beliau memberitakannya.
Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa.[3]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengkhususkan satu hari penuh untuk membicarakan masalah fitnah. Beliau berkhutbah kepada sahabatnya mulai shalat fajar sampai matahari tenggelam, untuk membicarakan masalah fitnah.
Dalam riwayat yang lain Abdullah bin Amr berkata di dalam hadits yang panjang, penting, dan pokok, tentang masalah fitnah.
Terhadap hadits Abdullah bin Amr ini (akan disampaikan di bawah-pent) kita memiliki beberapa renungan. Tema yang kita bahas (fitnah) sangat luas dan untuk dapat meliputi pembahasan fitnah, kita membutuhkan ceramah-ceramah yang sangat panjang. Berhubung waktu (kita) terbatas saya akan memberikan perhatian terhadap perkara-perkara global, penting, dan kuliyyaat (hal-hal prinsip).
Imam Muslim telah meriwayatkan hadits yang sanadnya sampai kepada Abdurrahman bin Abdurrabbil Ka'bah (seorang tabi'i yang agung), dari Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash, dia berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadits
Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku,
kecuali merupakan kewajiban Nabi itu untuk menunjukkan umatnya,
kebaikan yang dia ketahui untuk mereka,
dan memperingatkan mereka
dari keburukan yang dia ketahui untuk mereka. [4]

Inilah syahidnya :[5]
hadits
Dan sesungguhnya umat kamu ini,
keselamatannya dijadikan pada awalnya.
Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah
dan perkara-perkara yang kamu ingkari.
Sehingga fitnah akan datang,
lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain.
Kemudian fitnah akan datang, lalu seorang mukmin akan berkata:
"Inilah kebinasaanku".
Lalu fitnah itu hilang.
Kemudian akan datang fitnah,
lalu seorang mukmin akan berkata: "Inilah, inilah"

Kemudian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melanjutkan sabdanya tadi:
hadits
Barangsiapa suka diselamatkan dari neraka dan masuk sorga,
maka hendaklah kematiannya mendatanginya
sedangkan dia beriman kepada Allâh dan hari akhir.
Dan hendaklah dia menyikapi manusia,
dengan apa yang dia suka manusia menyikapinya.
Barangsiapa membai'at seorang imam,
dan dia telah memberikan tepukan tangannya (yakni perjanjiannya) dan buah hatinya,
(maka hendaklah dia mentaatinya semampunya) [6]
lalu datang orang lain untuk menentang imam itu,
maka pukullah leher yang lain itu.
Atau beliau bersabda:
"Leher orang yang akhir.”
Abdurrahman bin Abdurrabbil Ka'bah berkata
kepada Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash:
"Demi Allâh, apakah anda mendengar dari Rasulullah?"
Maka Abdullah menunjuk ke arah hatinya
dan kedua telinganya, dan berkata:
"Aku telah mendengarnya dengan kedua telingaku (dari Rasûlullâh),
dan hatiku memahaminya."

Hadits ini merupakan penguat terhadap pernyataan yang telah kami sampaikan, bahwa Nabi memberikan perhatian yang besar terhadap masalah fitnah. Bahkan hal ini merupakan tugas seluruh para Nabi. Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi pun, kecuali merupakan kewajibannya untuk menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umat dari keburukan yang dia ketahui.
Begitu pulalah keadaan para sahabat. Disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Hudzaifah, dia berkata:
hadits
"Orang-orang biasa bertanya
kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tentang kebaikan.
Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan,
karena khawatir terjerumus ke dalamnya."

Para sahabat biasa bertanya tentang fitnah (keburukan), beliau biasa menjawabnya, dan memerinci berita-berita (tentang fitnah). Para sahabat dan para pengikut mereka (yang datang) setelah mereka[7] biasa memberitakan, membicarakan, dan mendengar tentang fitnah. Sehingga mereka waspada terhadapnya dan memberikan peringatan darinya, agar tidak terfitnah, dan tetap di atas jalan yang lurus. Mereka bertanya dan mempelajari, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan,
tetapi untuk menjaga diri darinya.
Barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan dari kebaikan,
niscaya dia terjerumus ke dalamnya.

PERKARA KEDUA:
Kita harus tahu, bahwa generasi terbaik umat ini ada pada generasi pertama. Fitnah bertambah keras dengan berlalunya waktu. Setiap lewat satu waktu, fitnah bertambah keras dan menjadikan seorang muslim di dalam ghurbah (keadaan asing).
Perkara ini sepantasnya kita fahami dengan baik, dan sepantasnya kita mengetahui maksud Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengenai pemberitaan ini.
Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash (di atas disebutkan):
hadits
Dan sesungguhnya umat kamu ini,
keselamatannya dijadikan pada awalnya.
Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah
dan perkara-perkara yang kamu ingkari.

Keselamatan, kebaikan, berkah, agama, iman, ilmu, amal, ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, dalam bentuk yang cukup dan sempurna ada pada generasi pertama umat ini. Oleh karena itulah ketika turun firman Allâh Ta'ala:
Qs Al-Maidah/5: 3
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.
(QS Al-Maidah/5: 3)

Umar menangis. Ketika dia ditanya penyebab tangisnya, dia menjawab:
"Tidak ada setelah kesempurnaan, kecuali kekurangan."
Hakekat kedua ini sepantasnya kita ketahui, tetapi kita tempatkan sebagaimana dikehendaki oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Kita tidak memahaminya dengan akal sebagaimana yang kita inginkan dan kita kehendaki. Tetapi kita memahaminya dengan mengikuti para sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Mereka lebih mengetahui maksud Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam daripada kita.
Hakekat ini benar berdasarkan banyak dalil, aku akan mencukupkan dengan sebagiannya.
Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai Zubair bin Adi, seorang tabi'i yang agung, dia telah berkata:
hadits
Kami mendatangi Anas bin Malik,
kami mengadukan apa yang kami temui dari Al-Hajjaj. [8]
Maka Anas berkata:
"Sabarlah, karena sesungguhnya tidaklah satu zaman datang kepada kamu
kecuali yang datang setelahnya lebih buruk
(sampai kamu bertemu Rabb kamu) [9]
Aku telah mendengarnya dari Nabi kamu Shallallâhu 'Alaihi Wasallam"

Di dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash disebutkan:
"Dan sesungguhnya umat kamu ini, keselamatannya dijadikan pada awalnya.
Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah
dan perkara-perkara yang kamu ingkari, sehingga akan datang fitnah,
lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain."

Apakah makna : "Sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain?"
Maknanya, fitnah hari ini akan menjadikan kecil fitnah kemarin. Dan fitnah besok akan menjadikan kecil fitnah hari ini. Fitnah lusa akan menjadikan kecil fitnah yang akan datang. Maka, fitnah datang pada setiap zaman berjalan, dan sebagiannya mengecilkan sebagian yang lain. Inilah yang difahami oleh Abdullah bin Mas'ud.
Diriwayatkan oleh Thabarani dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa suatu hari beliau berkata kepada istrinya:
"Wahai Ummu Abdurrahman (istri Abdullah bin Mas'ud). Manakah yang lebih utama, hari ini atau kemarin?"
Maka dia menjawab:
"Wahai Abu Abdurrahman (panggilan Abdullah bin Mas'ud), demi Allâh aku tidak tahu.”
Maka Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Demi Allâh, sesungguhnya aku tahu, bahwa kemarin lebih baik daripada hari ini. Dan hari ini lebih baik daripada besok.”
Siapakah yang memberitahukan berita ghaib ini kepada Ibnu Mas'ud? Itu adalah sesuatu yang didengar dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Fitnah akan membesar dengan lewatnya waktu. Membesarnya fitnah telah diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, untuk menguatkan kehendak/niat (untuk meniti al-haq, pent), agar tidak mengagetkan dan tidak menyerang kita, sedangkan kita tidak memiliki persiapan.
Di saat fitnah, manusia membutuhkan kekuatan; kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. Kadar kekuatan ini (haruslah) sekuat fitnah yang menyerang. Kekuatan itu didapatkan dengan cara mengumpulkan urusannya kepada Rabb-nya dan terus berpegang dengan (dan mengamalkan) perintah-perintah-Nya.
Jika seseorang tidak memiliki kekuatan, maka dia lemah, sedangkan fitnah datang mendesak, maka fitnah akan membanting wajah dan mulutnya. Wajahnya diserbu fitnah.
Ketika fitnah datang, seseorang harus mempersiapkan dirinya. Dia harus sadar, dan mengetahui, bahwa jika fitnah datang, dia harus tetap bangun.
Imran bin Hushain berkata:
"Kami diuji dengan kesenangan dan kesusahan. Kami dapat bersabar dengan kesenangan dan kesusahan, tetapi kami tidak dapat bersabar kesenangan."
Dikala dalam kesusahan, manusia akan mengumpulkan kekuatannya, dan berlindung/kembali kepada Allâh, merendah diri, memohon, dan terus waspada. Adapun di saat senang, dia terfitnah, dia jatuh, tetapi tidak merasa.
Fitnah itu bukanlah kita lapar, tidak mendapatkan makanan atau minuman. Fitnah itu ada saat kita mendapatkan makanan, minuman, harta, dan dunia terbuka untuk kita. Kemudian kita berlomba meraih dunia, lalu dunia itu membinasakan kita, sebagaimana telah membinasakan orang-orang sebelum kita. Inilah fitnah itu.
Tidakkah anda tahu, ketika seorang ayah menginginkan anaknya bersafar untuk belajar -contohnya- di negeri yang rusak, seperti Eropa atau Amerika? Karena sangat sayangnya, sang ayah tadi menasehati anaknya (dengan memberitahukan keburukan-keburukan):
"Wahai anakku, engkau akan melihat ini, engkau akan menemui itu, engkau akan menjumpai itu".
Berita yang sampaikan sang ayah, apakah supaya anaknya melakukan keburukan itu, atau supaya anaknya mewaspadainya? Tentulah agar anaknya mewaspadainya.
Nabi juga memberitakan supaya kita mewaspadainya, bahwa fitnah akan bertambah keras dengan berjalannya waktu. Agar kita mengumpulkan kekuatan, dan mengumpulkan diri kita (untuk mohon perlindungan) kepada Allâh Ta'ala.
Jika jiwa seseorang tidak memperhatikan hal tadi, maka sesungguhnya kebaikan akan terasa berat olehnya. Dahulu saya membaca satu ayat di dalam kitab Allâh (Al-Qur'an). Lama saya perhatikan ayat tersebut, dan saya merasa heran. Saya mendapatkan pertanyaan yang muncul dari ayat tersebut, yang mendorong agar saya memahami ayat ini (QS Al-Anfal/8: 6).
Para sahabat yang paling utama, adalah yang ikut perang Badar. Nabi bersabda:
"Sebaik-baik sahabatku adalah sahabat-sahabat yang ikut perang Badar.
Dan sebaik-baik Malaikat yang ada di sisi Allâh adalah yang ikut perang Badar.”
Para sahabat yang ikut perang Badar memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka meninggalkan harta-benda dan kampung halaman. Mereka meninggalkan semuanya karena Allâh. Mereka meninggalkan yang mahal dan berharga. (Namun yang menjadikan saya bertanya) Rabb kita mensifati sahabat-sahabat yang ikut perang Badar, di dalam surat Al-Anfal (sebagai berikut):
(QS Al-Anfal/8: 6)
Seolah-olah mereka dihalau menuju kematian,
sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).
(QS Al-Anfal/8: 6)

Lihatlah orang yang akan berperang. Dalam peperangan itu seolah-olah dia digiring menuju kematian, dan dia membayangkan kematian! Apa yang terjadi padanya? Dia berkeluh kesah dan takut.
Padahal ini tidaklah sesuai dengan sifat Ahlul Badar, bukankah demikian?
Maka ketika itu dalam beberapa saat saya merasakan keanehan dengan ayat ini. Ahlul Badar tidaklah begini. Ahlul Badar adalah orang-orang yang suka berkorban, Ahlul Badar adalah orang-orang yang suka berjihad. Tetapi mengapa begini sifat mereka?
Kemudian saya sadar dan faham. (Bahwa sebelumnya), Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepada mereka agar memilih dua perkara: menyerang kafilah[10] (karena orang-orang kafir mengambil harta dan rumah kaum Muhajirin di kota Makkah), atau mengambil harta yang mereka bawa.
Jika jiwa disuruh memilih (satu dari) dua perkara, maka jiwa itu akan condong kepada yang lebih ringan. Ketika (pilihan) terjadi pada yang lebih berat, jadilah yang lebih berat itu sangat berat!
Keadaan ahlul Badar ketika pergi berperang, seolah-olah digiring menuju kematian, karena kekuatan dalam diri mereka tidak disiapkan untuk memerangi musuh. Tetapi mereka dikagetkan dengan datangnya jihad. Sedang diri mereka condong untuk mengambil harta lalu pulang kembali. Maka tatkala terjadi jihad, hal itu terasa berat bagi mereka.
Oleh karena inilah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memberitakan kepada kita tentang fitnah yang akan bertambah keras dengan lewatnya waktu.
Mengapa? Supaya kita waspada, kita bersedia, kita memiliki perhatian. Supaya fitnah itu tidak menjatuhkan kita, sedangkan kita tidak merasa. Sepantasnya kita memahami tentang "(berita) bertambah kerasnya fitnah" sebagaimana makna ini. Ini termasuk rahmat Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hendaknya kita tahu makna “fitnah akan bertambah keras setiap lewat zaman".
Telah shahih dari hadits Abdullah bin Mas'ud dalam Shahih Bukhari, dia berkata:
“Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada makhluk yang paling jahat."
Pada riwayat lain:
hadits
Makhluk yang paling jahat adalah orang-orang yang kiamat mengenai mereka,
(sedangkan mereka dalam keadaan hidup)." [11]

Pada riwayat Muslim, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Kiamat tidak akan terjadi hingga di bumi disebut:
"Allâh-Allâh.[12]
Orang-orang akan meninggalkan Madinah,
sehingga anjing dan serigala akan datang,
lalu kencing di atas mimbar Rasulullah.[13]
Pada akhir zaman akan terjadi kehancuran di kota Madinah.
Bangunan Madinah hancur di Baitul Maqdis,
sedangkan bangunan Baitul Maqdis akan hancur di masjid ini.

Fitnah akan terjadi dan akan bertambah keras, sampai seseorang akan menemui seorang fasiq berzina di tengah jalan! Sekarang, hal ini telah terjadi.
Akan tetapi ada kemusykilan. Marilah kita perhatikan bersama tentang tanda yang besar hari kiamat, tentang Al-Mahdi, Dajjal, dan Isa 'alaihissalam.
Manakah yang lebih dahulu, Dajjal atau Isa? Dajjal mendahului Isa. Sedangkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadits
"Tidak akan datang zaman kepada kamu, kecuali yang
datang sesudahnya lebih buruk darinya."

Apakah yang dimaksudkan? Sedangkan Nabi Isa 'alaihissalam lebih baik daripada Dajjal. Untuk menghilangkan kemusykilan ini, para ulama mengatakan:
"Tanda-tanda besar hari kiamat memiliki urutan tersendiri".
Tetapi kita mendapatkan kemusykilan lain. Manakah yang lebih dahulu, Al-Hajjaj atau Umar bin Abdul Aziz? Mana yang lebih dahulu, mana yang terakhir? Anda tahu?
Al-Hajjaj lebih dahulu, semua sepakat, karena ini merupakan sejarah. Tetapi siapakah yang lebih utama, Umar bin Abdul Aziz atau Al-Hajjaj? Umar bin Abdul Aziz lebih utama. Sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
hadits
Tidak akan datang zaman kepada kamu, kecuali yang
datang sesudahnya lebih buruk darinya.

Hadits ini di dalam Shahih Bukhari. Bagaimana kita memahami hadits shahih ini?
Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam kitabnya, Siyar A'lamin Nubala, tentang biografi Al-Hajjaj:
"Kami membencinya, tidak mencintainya, kami memusuhinya, tidak membelanya, dia memiliki kebaikan-kebaikan yang tenggelam di dalam lautan kejahatannya yang sangat banyak."
Al-Hasan Al-Bashri berkata:
"Seandainya umat diminta oleh Allâh untuk menunjukkan orang yang paling jahat di antara mereka, dan kita membawa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, niscaya kita mengalahkan mereka!" [14]

Tentang Umar bin Abdul Aziz, apa yang dikatakan para ulama? Orang-orang Syi'ah mengatakan Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah ke lima, sehingga mereka punya alasan mencaci Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Tetapi kita mengatakan:
"Beliau (Mu'awiyah bin Abi Sufyan) adalah khalifah yang zuhud, khalifah yang shalih, khalifah yang mencintai ilmu dan ulama".
Beliau seorang yang shalih.
Maka bagaimana kita menghilangkan kemusykilan ini? Pertama kali yang perlu kita perhatikan sehingga kemusykilan ini hilang, bahwa di dalam pengutamaan, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak memaksudkan para penguasa dan para pemimpin. Jika beliau memaksudkan para penguasa dan para pemimpin, pastilah zaman Umar bin Abdul Aziz lebih baik daripada zaman Al-Hajjaj, sehingga ini menyelisih hadits. Tetapi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memaksudkan yang lain.
Apakah timbangan kita untuk menilai manusia? Agama. Kita tidak menilai zaman berdasarkan penguasanya. Yang dikehendaki Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah manhaj, pemahaman agama. Manhaj, yang dengannya kita memahami agama.
Manakah yang lebih utama, manhaj untuk memahami agama yang ada di zaman Al-Hajjaj atau zaman Umar bin Abdul Aziz? Di zaman Al-Hajjaj !
Karena Al-Hajjaj ada di zaman sahabat. Manhaj sahabat lebih murni, lebih bersih, lebih utama, dan lebih baik daripada manhaj tabi'in. Dan zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman tabi'in. Sedangkan sahabat lebih utama daripada tabi'in.
Oleh karena inilah Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak menghendaki banyaknya harta yang diraih oleh salah seorang di antara kamu, tetapi yang beliau kehendaki ilmu."
Ilmu di zaman Al-Hajjaj lebih utama daripada di zaman Umar bin Abdul Aziz. Karena di akhir zaman, ketika manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, lalu para pemimpin itu ditanya, mereka menjawab dengan tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.
Kita mendekati datangnya hari kiamat. Hanya umat yang selalu bersama ulamanya, yang mampu membedakan fitnah, seorang 'alim yang membedakan.
Abu Nu'aim meriwayatkan di dalam Al-Hilyah dari Mak-hul Asy-Syami, (seorang tabi'i yang agung) dia berkata:
"Jika fitnah datang dan menampakkan kepalanya, seorang 'alim telah mengetahuinya dari kejauhan. Jika fitnah telah berpaling dan pergi, maka tiap-tiap orang jahil baru mengetahuinya".
Seorang 'alim menimbang segala perkara dengan syari'at. Sebelum fitnah datang, dia telah mengetahuinya. Sedangkan orang jahil, kapan dia mengetahui fitnah? Ketika fitnah telah pergi dan telah selesai. Maka apakah faidah dia mengetahuinya?
Laits bin Sa'ad, ahli fikih dari Mesir, berkata:
"Jika kamu melihat seseorang berjalan di atas air, janganlah kamu mendengarkannya, sampai kamu teliti perbuatannya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah".
Imam Syafi'i berkata:
"Semoga Allâh merahmati Laits, karena dia telah bersikap kurang. Adapun aku mengatakan: 'Jika kamu melihat seseorang berjalan di atas air, dan terbang di udara, janganlah kamu mendengarkannya, sampai kamu cek perbuatannya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah'.
Seorang 'alim mengecek amalan manusia dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, sehingga dia mengetahui fitnah.
Fitnah lebih dahsyat jika terjadi fitnah buta; Sesuatu yang paling dahsyat atas kaum muslimin yang mencintai kebaikan dan mendapati ulama' diantara mereka.
Maka jika terjadi fitnah, sepantasnya bagi thalibul 'ilmi (penuntut ilmu) dan orang awam berdiri di belakang para ulama! Tidak mendahului mereka, dan tidak melewati batas terhadap mereka.
Sikap seorang mukmin di saat fitnah hendaklah kokoh di atas agamanya. Ketika melihat fitnah yang bertambah keras, hendaklah dia memohon ketetapan di atas agama kepada Rabbnya, agar Dia mematikannya dengan tidak tertimpa fitnah.
Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadits
Akan datang fitnah, lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain.
Kemudian akan datang fitnah, lalu seorang mukmin akan berkata:
"Inilah kebinasaanku".
Lalu fitnah itu hilang.
Kemudian akan datang fitnah,
lalu seorang mukmin akan berkata: "Inilah, inilah".

Seorang mukmin menjauhkan fitnah dari dirinya dan dari anak-anak kaumnya (masyarakatnya). Dia tidak merubah atau mengganti (agamanya). Dia menyukai dan mengutamakan kematian daripada agamanya tertimpa fitnah.
"Wahai Allâh, jika Engkau menghendaki fitnah menimpa kami, maka matikanlah kami dengan tidak terfitnah."
Inilah doa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi 'Ashim, Ibnu Khuzaimah, dan yang lain, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata dan berdoa:
"Wahai Allâh,
aku mohon kepadaMu amalan-amalan yang baik,
meninggalkan kemungkaran-kemungkaran,
mencintai orang-orang miskin,
agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku.
Jika Engkau menghendaki fitnah menimpaku dan kaumku,
maka ambillah aku ke hadirat-Mu dengan tidak terfitnah."

Diantara penyebab selamat dari fitnah adalah doa. Seorang mukmin mengutamakan kematian daripada agamanya terfitnah. Apakah faidah kehidupan seorang mukmin (jika tertimpa fitnah)? Hidup hanyalah beberapa tahun, kemudian keluar dari dunia menuju neraka jahannam -kita mohon perlindungan kepada Allâh-.
Seandainya dunia itu terbuat dari emas murni tetapi fana. Sedangkan akhirat terbuat dari tembikar, dari keramik tetapi kekal. Maka orang yang berakal akan mengutamakan tembikar yang kekal daripada emas yang fana. Lalu bagaimana jika akhirat terbuat dari emas murni, sedangkan dunia itu terbuat dari keramik ?
Oleh karena inilah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat mohon perlindungan kepada Allâh dari fitnah.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berdoa yang artinya:
"Wahai Allâh,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.
Wahai Allâh sesungguhnya aku berlindung kepadaMu
dari malapetaka yang membahayakan dan dari fitnah yang menyesatkan."

Di dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas, suatu hari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:
"Bertanyalah kepadaku!
Maka para sahabat pun bertanya kepada beliau,
sehingga mereka mendesak dan memperbanyak pertanyaan.
Sehingga seorang lelaki berdiri.
Kebiasaan orang-orang jika berbantahan, mereka mencela nasab.
Lelaki itu berkata: "Wahai Rasulullah, siapakah bapakku?"
Beliau menjawab: "Bapakmu Hudzafah".
Mereka bertanya dan mendesak beliau dengan pertanyaan,
sampai Rasulullah marah.
Ketika Umar melihat kemarahan pada wajah beliau, dia berdiri dan berkata:
"Kami ridha Allâh sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami,
dan Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai Nabi dan Rasul.
Wahai Allâh sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari fitnah.”
Anas berkata:
"Maka aku perhatikan sekelilingku, dan aku dapati setiap orang
-yakni para sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam-
meletakkan pakaiannya pada wajahnya, menangis."

Para sahabat mohon perlindungan kepada Allâh dari fitnah. Maka seorang mukmin hendaklah selalu mohon kepada Rabbnya, mati di atas iman.
Termasuk doa yang paling banyak diucapkan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah yang artinya:
"Wahai Allâh Yang membolak-balikkan hati dan pandangan,
tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.
Wahai Allâh Yang memalingkan hati,
tetapkanlah hatiku di atas ketaatan kepadaMu."


[1]
Pengantar penterjemah:
Maksud fitnah dalam pembahasan ini adalah keburukan. Baik berupa kekafiran, kemaksiatan, dosa, musibah, kesusahan, pembunuhan, siksaan, dan perkara lainnya, yang tidak disukai.
Ar-Raghib mengatakan:
"Fitnah -dalam bahasa Arab- arti asalnya adalah memasukkan emas ke dalam api, untuk mengetahui yang baik dari yang jelek. Kemudian kata fitnah dipakai dengan arti: memasukkan manusia ke dalam neraka; siksaan; yang terjadi di saat siksaan; ujian; kesusahan atau kesenangan yang mengenai manusia, tetapi lebih sering digunakan dengan arti kesusahan. Fitnah bisa datang dari perbuatan Allâh, yang pasti mengandung hikmah. Juga bisa datang dari perbuatan manusia, tanpa perintah Allâh, dan ini tercela. Fitnah itu seperti: musibah, pembunuhan, siksaan, kemaksiatan, dan lainnya, yang merupakan perkara tidak disukai".
Orang lain mengatakan, bahwa asal arti fitnah adalah: ujian. Lalu dipakai dengan arti: perkara yang tidak disukai yang datang karena ujian. Kemudian dipakai dengan arti: segala perkara yang tidak disukai; atau yang membawa kepada perkara yang tidak disukai. Seperti: kekafiran, dosa, membakar, terbukanya aib, kejahatan, dan lainnya. (Lihat Fathul Bari, kitab Al-Fitan).
Inilah maksud kata fitnah yang dibicarakan oleh Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam pembahasan beliau ini. Sehingga bukan arti fitnah dalam bahasa Indonesia.
Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, termasuk anggota redaksi majalah Al-Ashalah, Yordania. Majalah yang menyebarkan dakwah Salafiyah. Salah seorang murid menonjol Syeikh Al-Albani ini juga produktif menghasilkan karya-karya tulis. Baik tulisan sendiri, bersama orang lain, atau hasil tahqiq (penelitian) dan takhrij (penjelasan sumber pengambilan hadits dan derajatnya) terhadap kitab ulama Salaf.
Di antara karya beliau adalah: Al-Qaulul Mubin Fii Akh-thail Mushallin (kitab yang membahas kesalahan seputar shalat); Kutub Hadzdzara Minha Al-Ulama (kitab yang membahas kitab-kitab yang perlu dijauhi oleh thalibul 'ilmi); dan banyak lagi yang lainnya.
Ceramah ini beliau sampaikan di Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya. Ceramah tersebut berjudul "Al-Fitan Wa Kaifa Yatajannabuha" (Fitnah-fitnah, Dan Bagaimana Cara Menjauhinya). Karena panjangnya ceramah, maka kami jadikan dua tulisan. Tulisan pertama berjudul: Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah, sedangkan tulisan kedua berjudul: Kiat Selamat Dari Fitnah.
[2]
Diterjemahkan oleh Abu Isma'il Muslim Al-Atsari, dari ceramah Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, pada hari Selasa, 5 Muharram 1422 / 19 Maret 2002, di Ma'had Al-Irsyad Surabaya)
[3]
Lafazh hadits yang disampaikan Syeikh, nampaknya dari dua matan hadits. Yaitu hadits Abu Zaid Amr bin Akhthab dan hadits Hudzaifah bin Al-Yaman, keduanya riwayat Muslim di dalam kitab: Fitan.
Lafazh hadits Abu Zaid Amr bin Akhthab, dia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam shalat subuh bersama kami, lalu beliau naik mimbar. Kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu zhuhur tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah sampai waktu ashar tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah, sampai matahari tenggelam. Beliau memberitakan kepada kami apa yang akan terjadi, maka orang yang paling tahu di antara kami adalah orang yang paling hafal di antara kami. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa".
Adapun lafazh hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman adalah :
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berdiri di satu tempat di antara kami. Di tempat berdiri itu, beliau tidak meninggalkan sesuatupun yang akan terjadi sampai hari kiamat kecuali beliau memberitakannya. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa."

(-pent)
[4]
Pada ceramah Syeikh dengan lafazh:
"Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi pun, kecuali…".
Tetapi lafazh yang kami dapatkan dalam Shahih Muslim, apa yang kami tulis di atas -pent)

[5]
Yakni dalil yang mendukung untuk memberikan perhatian masalah fitnah/keburukan-pent)
[6] Kalimat dalam kurung ini tertinggal dari perkataan Syeikh (-pent)
[7] Kita mohon kepada Allâh agar kita termasuk mereka.
[8] Sedangkan Hajjaj seorang yang zhalim dan lalim.
[9]
Teks di dalam kurung tidak ada dalam ceramah Syeikh.
[10]
Rombongan dagang suku Quraisy yang pulang dari kota Syam, dan tidak bersenjata
[11] Dalam kurung ini ada dalam hadits, tidak dalam ceramah (-pent.)
[12] Riwayat Muslim, kitab: Al-Iman, bab Hilangnya Iman Di Akhir Zaman, dengan lafazh:
hadits
[13]
Sebagimana dalam sebuah hadits riwayat Malik dalam Muwatha' dengan lafazh: "Sesungguhnya Madinah akan ditinggalkan dalam sebaik-baik keadaan, sehingga anjing atau serigala akan masuk, lalu kencing pada sebagian tiang-tiang masjid atau di atas mimbar." Lihat:Fathul Bari IV/90 (-pent.)
[14] Yakni Al-Hajjaj adalah manusia yang paling jahat-pent.


 Sumber : http://www.majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=223:kaidah-kaidah-memahami-fitnah&catid=47:mabhats&Itemid=97 oleh : Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman[2]