Rabu, 31 Agustus 2011

Mengapa Musibah Terus Mendera ?[*]

Al Faqih


Sesungguhnya kami memuji Allâh Tabaraka wa Ta’ala atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama.
Kami bersyukur kepada Allâh Rabbil ‘Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini. Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta’mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar’i.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS al Maidah/5:2)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.
(QS al Maidah/5:2)

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia,
dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allâh.[1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya,[2] merupakan bentuk syukur kepada Allâh Ta'ala.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS Ibrahim/14:7)
Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.
(QS Ibrahim/14:7)

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita.
Allâh Ta’ala berfirman :
(QS an-Nahl/16: 53)
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu,
maka dari Allâh-lah (datangnya).
(QS an-Nahl/16: 53)
Dan sebagaimana firman-Nya:
(QS an-Nahl/16:18)
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allâh,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
(QS an-Nahl/16:18)

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allâh menimpakan adzab- Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allâh, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allâh Ta'ala. Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allâh Ta'ala, dan jalan menuju keridhaan- Nya.
Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.
Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan.[3] Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.
Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?
Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah.
Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allâh Ta'ala bagi umat ini.
Wahai saudara-saudara seagama, Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allâh Ta'ala, dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.
Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allâh, dalam upaya menjalin ta’awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa.
Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.
Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari’at Rabbul ‘Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allâh.
Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Sesungguhnya Allâh tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung,
tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama.
Sehingga ketika tidak tersisa seorang ‘alim pun,
orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh,
lalu orang-orang bertanya kepada mereka,
lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.[4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan.
Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku,
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta.
Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.
Ilmu syar’i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu ‘ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadist
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar’i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya.
Allâh Ta’ala berfirman:
(QS ar-Ra’d/13:11)
Sesungguhnya Allâh tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(QS ar-Ra’d/13:11)

Sungguh, Allâh tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama.
Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
“Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu,
orang yang berkhianat diberi amanat,
orang yang terpercaya dianggap khianat,
orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan,
dan ruwaibidhah akan berbicara,”
para sahabat bertanya,”Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
”Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak”.[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda tentang tabib yang mengobati badan :
hadist
Barangsiapa mengobati,
sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan,
maka dia menanggung. [6]
(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama? Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?
Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allâh, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allâh, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allâh, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?
Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh.
Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi. Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (orang-orang yang melakukan bid’ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya.
Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab[7] ( شَقْحَبُ ) di Damaskus pada abad ke-8.
Beliau rahimahullâh memerangi musuh-musuh Allâh, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullâh memandang ilmu dengan setinggi-tingginya.
Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allâh Ta'ala, dan dalam perkara yang ma’ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini.
Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari’at; mereka ibarat jauh panggang dari api.
Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari’at.
Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allâh Ta'ala mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allâh yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman:
(QS al Anfal/8:29)
Jika kamu bertakwa kepada Allâh,
Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu.
(QS al Anfal/8:29)
(QS ath-Thalaq/65:4)
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh,
niscaya Allâh menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
(QS ath-Thalaq/65:4)

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.
Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al-Kitab dan as-Sunnah?
Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Beliau bersabda:
hadist
Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara.
Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allâh dan Sunnahku.[8]
Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.
Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allâh. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allâh dan Sunnah Nabi.
Saudara-saudaraku seagama,
Demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu. Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid’ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba‘ (mengikuti) Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Allâh Tabaraka wa Ta’ala berfirman tentang beliau:
(QS an-Nur/24:54)
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
(QS an-Nur/24:54)

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid’ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al Hilali pada pembahasan berikutnya.
Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah Rabbil-’Alamin.

[*] Ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Atsari di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, yang diterjemahkan dan dengan penambahan takhrij hadits oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari, dan disunting oleh Tim Redaksi Majalah As-Sunnah.
[1]
Hadits ini kami dapati dengan lafazh:
مَنْ لَـمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَـمْ يَشْكُرِ اللهَ
Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allâh. (HR Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, dan Ibnu Baththah,
dari sahabat an-Nu’man bin Basyir.
Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam ash-Shahihah no. 667.)
[2]
Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita.
[3]
Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum Muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
[4]
Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub salah satau lafazh yang termaktub dalam Shahih al Bukhari :
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْتَزِعُ الْعِلمَ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَـمْ يَبْقَ عَالِـمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَيَسْتَفتُوْهُم فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mencabut ilmu
dari hamba-hamba secara langsung,
tetapi dia mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama.
Sehingga ketika Allâh pun tidak menyisakan seorang ‘alim pun,
lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu.
Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan.
(HR Bukhari, no 100)

[5]
Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari –hafizhahullah- ini secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya :
Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu,
orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar didustakan,
orang yang berkhianat diberi amanat,
orang yang amanat dianggap khianat,
dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu”.
Beliau ditanya: “Apakah Ruwaibidhah?”
Beliau menjawab,
”Seorang yang hina lagi bodoh
(berbicara tentang) urusan orang banyak.”

(HR Ibnu Majah, no. 4036, dari Abu Hurairah,
dishahihkan oleh Syaikh al Albani)

[6]
Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no. 4586, an-Nasa-i no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[7]
Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37 km. Dinukil dari Mauqif Ibni Taimiyyah minal Asya’irah, hlm. 164.
[8]
8) Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik, 2/899, no: 1661 dengan lafazh:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya:
kitab Allâh dan Sunnah NabiNya.
Silahkan lihat at-Ta’zhim wal Minnah fi Intisharis-Sunnah, hlm. 13-14, karya Syaikh Salim al Hilali.


Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah[1]

Al Faqih

(Muqoddimah & struktur bahasa disesuaikan)

Pembahasan seputar fitnah merupakan perkara yang sangat penting. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam banyak memberikan perhatian yang nyata terhadap hal ini. Seorang muslim hendaklah memahami permasalahan ini secara benar, dengan menempatkan nash-nash pada tempatnya. Dia tidak boleh memahaminya dengan apa yang tidak dikehendaki oleh Rabb kita dan Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Ketika mendengar nash-nash tentang masalah ini (masalah fitnah), sepantasnya seorang muslim memahami kulliyyat (hal-hal prinsip) dan perkara-perkara mujmal (global). Hal itu tidak boleh lepas dari perhatiannya selama-lamanya.
Tema yang akan kita bicarakan adalah tentang fitnah, bagaimana kita menjauhinya, dan apa saja hal-hal yang jika kita tempuh akan menjauhkan diri kita dan masyarakat kita dari fitnah.
Sebelum kami sebutkan sebab-sebab (yang menjauhkan diri kita dan masyarakat kita dari fitnah), kami akan menerangkan sebagian perkara yang memiliki hubungan dengan sebab-sebab tersebut. Hal ini sebagai muqaddimah.

PERKARA PERTAMA
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memberikan perhatian (yang besar) terhadap masalah fitnah. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Hudzaifah:
hadits
Suatu hari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
shalat subuh bersama kami, lalu beliau naik mimbar.
Kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu zhuhur tiba.
Lalu beliau turun, kemudian shalat zhuhur bersama kami.
Lalu beliau naik mimbar,
kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu ashar tiba.
Lalu beliau turun, kemudian shalat.
Lalu beliau naik mimbar,
kemudian beliau berkhotbah, sampai matahari tenggelam.
Tidaklah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggalkan
sesuatupun (yang terjadi) sampai hari kiamat,
kecuali beliau memberitakannya.
Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa.[3]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengkhususkan satu hari penuh untuk membicarakan masalah fitnah. Beliau berkhutbah kepada sahabatnya mulai shalat fajar sampai matahari tenggelam, untuk membicarakan masalah fitnah.
Dalam riwayat yang lain Abdullah bin Amr berkata di dalam hadits yang panjang, penting, dan pokok, tentang masalah fitnah.
Terhadap hadits Abdullah bin Amr ini (akan disampaikan di bawah-pent) kita memiliki beberapa renungan. Tema yang kita bahas (fitnah) sangat luas dan untuk dapat meliputi pembahasan fitnah, kita membutuhkan ceramah-ceramah yang sangat panjang. Berhubung waktu (kita) terbatas saya akan memberikan perhatian terhadap perkara-perkara global, penting, dan kuliyyaat (hal-hal prinsip).
Imam Muslim telah meriwayatkan hadits yang sanadnya sampai kepada Abdurrahman bin Abdurrabbil Ka'bah (seorang tabi'i yang agung), dari Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash, dia berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadits
Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku,
kecuali merupakan kewajiban Nabi itu untuk menunjukkan umatnya,
kebaikan yang dia ketahui untuk mereka,
dan memperingatkan mereka
dari keburukan yang dia ketahui untuk mereka. [4]

Inilah syahidnya :[5]
hadits
Dan sesungguhnya umat kamu ini,
keselamatannya dijadikan pada awalnya.
Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah
dan perkara-perkara yang kamu ingkari.
Sehingga fitnah akan datang,
lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain.
Kemudian fitnah akan datang, lalu seorang mukmin akan berkata:
"Inilah kebinasaanku".
Lalu fitnah itu hilang.
Kemudian akan datang fitnah,
lalu seorang mukmin akan berkata: "Inilah, inilah"

Kemudian Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melanjutkan sabdanya tadi:
hadits
Barangsiapa suka diselamatkan dari neraka dan masuk sorga,
maka hendaklah kematiannya mendatanginya
sedangkan dia beriman kepada Allâh dan hari akhir.
Dan hendaklah dia menyikapi manusia,
dengan apa yang dia suka manusia menyikapinya.
Barangsiapa membai'at seorang imam,
dan dia telah memberikan tepukan tangannya (yakni perjanjiannya) dan buah hatinya,
(maka hendaklah dia mentaatinya semampunya) [6]
lalu datang orang lain untuk menentang imam itu,
maka pukullah leher yang lain itu.
Atau beliau bersabda:
"Leher orang yang akhir.”
Abdurrahman bin Abdurrabbil Ka'bah berkata
kepada Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash:
"Demi Allâh, apakah anda mendengar dari Rasulullah?"
Maka Abdullah menunjuk ke arah hatinya
dan kedua telinganya, dan berkata:
"Aku telah mendengarnya dengan kedua telingaku (dari Rasûlullâh),
dan hatiku memahaminya."

Hadits ini merupakan penguat terhadap pernyataan yang telah kami sampaikan, bahwa Nabi memberikan perhatian yang besar terhadap masalah fitnah. Bahkan hal ini merupakan tugas seluruh para Nabi. Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi pun, kecuali merupakan kewajibannya untuk menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umat dari keburukan yang dia ketahui.
Begitu pulalah keadaan para sahabat. Disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Hudzaifah, dia berkata:
hadits
"Orang-orang biasa bertanya
kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tentang kebaikan.
Sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan,
karena khawatir terjerumus ke dalamnya."

Para sahabat biasa bertanya tentang fitnah (keburukan), beliau biasa menjawabnya, dan memerinci berita-berita (tentang fitnah). Para sahabat dan para pengikut mereka (yang datang) setelah mereka[7] biasa memberitakan, membicarakan, dan mendengar tentang fitnah. Sehingga mereka waspada terhadapnya dan memberikan peringatan darinya, agar tidak terfitnah, dan tetap di atas jalan yang lurus. Mereka bertanya dan mempelajari, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan,
tetapi untuk menjaga diri darinya.
Barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan dari kebaikan,
niscaya dia terjerumus ke dalamnya.

PERKARA KEDUA:
Kita harus tahu, bahwa generasi terbaik umat ini ada pada generasi pertama. Fitnah bertambah keras dengan berlalunya waktu. Setiap lewat satu waktu, fitnah bertambah keras dan menjadikan seorang muslim di dalam ghurbah (keadaan asing).
Perkara ini sepantasnya kita fahami dengan baik, dan sepantasnya kita mengetahui maksud Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengenai pemberitaan ini.
Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash (di atas disebutkan):
hadits
Dan sesungguhnya umat kamu ini,
keselamatannya dijadikan pada awalnya.
Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah
dan perkara-perkara yang kamu ingkari.

Keselamatan, kebaikan, berkah, agama, iman, ilmu, amal, ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, dalam bentuk yang cukup dan sempurna ada pada generasi pertama umat ini. Oleh karena itulah ketika turun firman Allâh Ta'ala:
Qs Al-Maidah/5: 3
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.
(QS Al-Maidah/5: 3)

Umar menangis. Ketika dia ditanya penyebab tangisnya, dia menjawab:
"Tidak ada setelah kesempurnaan, kecuali kekurangan."
Hakekat kedua ini sepantasnya kita ketahui, tetapi kita tempatkan sebagaimana dikehendaki oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Kita tidak memahaminya dengan akal sebagaimana yang kita inginkan dan kita kehendaki. Tetapi kita memahaminya dengan mengikuti para sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Mereka lebih mengetahui maksud Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam daripada kita.
Hakekat ini benar berdasarkan banyak dalil, aku akan mencukupkan dengan sebagiannya.
Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai Zubair bin Adi, seorang tabi'i yang agung, dia telah berkata:
hadits
Kami mendatangi Anas bin Malik,
kami mengadukan apa yang kami temui dari Al-Hajjaj. [8]
Maka Anas berkata:
"Sabarlah, karena sesungguhnya tidaklah satu zaman datang kepada kamu
kecuali yang datang setelahnya lebih buruk
(sampai kamu bertemu Rabb kamu) [9]
Aku telah mendengarnya dari Nabi kamu Shallallâhu 'Alaihi Wasallam"

Di dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ibnul Ash disebutkan:
"Dan sesungguhnya umat kamu ini, keselamatannya dijadikan pada awalnya.
Tetapi akhir umat ini akan ditimpa oleh musibah
dan perkara-perkara yang kamu ingkari, sehingga akan datang fitnah,
lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain."

Apakah makna : "Sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain?"
Maknanya, fitnah hari ini akan menjadikan kecil fitnah kemarin. Dan fitnah besok akan menjadikan kecil fitnah hari ini. Fitnah lusa akan menjadikan kecil fitnah yang akan datang. Maka, fitnah datang pada setiap zaman berjalan, dan sebagiannya mengecilkan sebagian yang lain. Inilah yang difahami oleh Abdullah bin Mas'ud.
Diriwayatkan oleh Thabarani dengan sanad yang jayyid (bagus) dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa suatu hari beliau berkata kepada istrinya:
"Wahai Ummu Abdurrahman (istri Abdullah bin Mas'ud). Manakah yang lebih utama, hari ini atau kemarin?"
Maka dia menjawab:
"Wahai Abu Abdurrahman (panggilan Abdullah bin Mas'ud), demi Allâh aku tidak tahu.”
Maka Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Demi Allâh, sesungguhnya aku tahu, bahwa kemarin lebih baik daripada hari ini. Dan hari ini lebih baik daripada besok.”
Siapakah yang memberitahukan berita ghaib ini kepada Ibnu Mas'ud? Itu adalah sesuatu yang didengar dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Fitnah akan membesar dengan lewatnya waktu. Membesarnya fitnah telah diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, untuk menguatkan kehendak/niat (untuk meniti al-haq, pent), agar tidak mengagetkan dan tidak menyerang kita, sedangkan kita tidak memiliki persiapan.
Di saat fitnah, manusia membutuhkan kekuatan; kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. Kadar kekuatan ini (haruslah) sekuat fitnah yang menyerang. Kekuatan itu didapatkan dengan cara mengumpulkan urusannya kepada Rabb-nya dan terus berpegang dengan (dan mengamalkan) perintah-perintah-Nya.
Jika seseorang tidak memiliki kekuatan, maka dia lemah, sedangkan fitnah datang mendesak, maka fitnah akan membanting wajah dan mulutnya. Wajahnya diserbu fitnah.
Ketika fitnah datang, seseorang harus mempersiapkan dirinya. Dia harus sadar, dan mengetahui, bahwa jika fitnah datang, dia harus tetap bangun.
Imran bin Hushain berkata:
"Kami diuji dengan kesenangan dan kesusahan. Kami dapat bersabar dengan kesenangan dan kesusahan, tetapi kami tidak dapat bersabar kesenangan."
Dikala dalam kesusahan, manusia akan mengumpulkan kekuatannya, dan berlindung/kembali kepada Allâh, merendah diri, memohon, dan terus waspada. Adapun di saat senang, dia terfitnah, dia jatuh, tetapi tidak merasa.
Fitnah itu bukanlah kita lapar, tidak mendapatkan makanan atau minuman. Fitnah itu ada saat kita mendapatkan makanan, minuman, harta, dan dunia terbuka untuk kita. Kemudian kita berlomba meraih dunia, lalu dunia itu membinasakan kita, sebagaimana telah membinasakan orang-orang sebelum kita. Inilah fitnah itu.
Tidakkah anda tahu, ketika seorang ayah menginginkan anaknya bersafar untuk belajar -contohnya- di negeri yang rusak, seperti Eropa atau Amerika? Karena sangat sayangnya, sang ayah tadi menasehati anaknya (dengan memberitahukan keburukan-keburukan):
"Wahai anakku, engkau akan melihat ini, engkau akan menemui itu, engkau akan menjumpai itu".
Berita yang sampaikan sang ayah, apakah supaya anaknya melakukan keburukan itu, atau supaya anaknya mewaspadainya? Tentulah agar anaknya mewaspadainya.
Nabi juga memberitakan supaya kita mewaspadainya, bahwa fitnah akan bertambah keras dengan berjalannya waktu. Agar kita mengumpulkan kekuatan, dan mengumpulkan diri kita (untuk mohon perlindungan) kepada Allâh Ta'ala.
Jika jiwa seseorang tidak memperhatikan hal tadi, maka sesungguhnya kebaikan akan terasa berat olehnya. Dahulu saya membaca satu ayat di dalam kitab Allâh (Al-Qur'an). Lama saya perhatikan ayat tersebut, dan saya merasa heran. Saya mendapatkan pertanyaan yang muncul dari ayat tersebut, yang mendorong agar saya memahami ayat ini (QS Al-Anfal/8: 6).
Para sahabat yang paling utama, adalah yang ikut perang Badar. Nabi bersabda:
"Sebaik-baik sahabatku adalah sahabat-sahabat yang ikut perang Badar.
Dan sebaik-baik Malaikat yang ada di sisi Allâh adalah yang ikut perang Badar.”
Para sahabat yang ikut perang Badar memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka meninggalkan harta-benda dan kampung halaman. Mereka meninggalkan semuanya karena Allâh. Mereka meninggalkan yang mahal dan berharga. (Namun yang menjadikan saya bertanya) Rabb kita mensifati sahabat-sahabat yang ikut perang Badar, di dalam surat Al-Anfal (sebagai berikut):
(QS Al-Anfal/8: 6)
Seolah-olah mereka dihalau menuju kematian,
sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).
(QS Al-Anfal/8: 6)

Lihatlah orang yang akan berperang. Dalam peperangan itu seolah-olah dia digiring menuju kematian, dan dia membayangkan kematian! Apa yang terjadi padanya? Dia berkeluh kesah dan takut.
Padahal ini tidaklah sesuai dengan sifat Ahlul Badar, bukankah demikian?
Maka ketika itu dalam beberapa saat saya merasakan keanehan dengan ayat ini. Ahlul Badar tidaklah begini. Ahlul Badar adalah orang-orang yang suka berkorban, Ahlul Badar adalah orang-orang yang suka berjihad. Tetapi mengapa begini sifat mereka?
Kemudian saya sadar dan faham. (Bahwa sebelumnya), Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepada mereka agar memilih dua perkara: menyerang kafilah[10] (karena orang-orang kafir mengambil harta dan rumah kaum Muhajirin di kota Makkah), atau mengambil harta yang mereka bawa.
Jika jiwa disuruh memilih (satu dari) dua perkara, maka jiwa itu akan condong kepada yang lebih ringan. Ketika (pilihan) terjadi pada yang lebih berat, jadilah yang lebih berat itu sangat berat!
Keadaan ahlul Badar ketika pergi berperang, seolah-olah digiring menuju kematian, karena kekuatan dalam diri mereka tidak disiapkan untuk memerangi musuh. Tetapi mereka dikagetkan dengan datangnya jihad. Sedang diri mereka condong untuk mengambil harta lalu pulang kembali. Maka tatkala terjadi jihad, hal itu terasa berat bagi mereka.
Oleh karena inilah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memberitakan kepada kita tentang fitnah yang akan bertambah keras dengan lewatnya waktu.
Mengapa? Supaya kita waspada, kita bersedia, kita memiliki perhatian. Supaya fitnah itu tidak menjatuhkan kita, sedangkan kita tidak merasa. Sepantasnya kita memahami tentang "(berita) bertambah kerasnya fitnah" sebagaimana makna ini. Ini termasuk rahmat Nabi kita Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hendaknya kita tahu makna “fitnah akan bertambah keras setiap lewat zaman".
Telah shahih dari hadits Abdullah bin Mas'ud dalam Shahih Bukhari, dia berkata:
“Kiamat tidak akan terjadi kecuali kepada makhluk yang paling jahat."
Pada riwayat lain:
hadits
Makhluk yang paling jahat adalah orang-orang yang kiamat mengenai mereka,
(sedangkan mereka dalam keadaan hidup)." [11]

Pada riwayat Muslim, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Kiamat tidak akan terjadi hingga di bumi disebut:
"Allâh-Allâh.[12]
Orang-orang akan meninggalkan Madinah,
sehingga anjing dan serigala akan datang,
lalu kencing di atas mimbar Rasulullah.[13]
Pada akhir zaman akan terjadi kehancuran di kota Madinah.
Bangunan Madinah hancur di Baitul Maqdis,
sedangkan bangunan Baitul Maqdis akan hancur di masjid ini.

Fitnah akan terjadi dan akan bertambah keras, sampai seseorang akan menemui seorang fasiq berzina di tengah jalan! Sekarang, hal ini telah terjadi.
Akan tetapi ada kemusykilan. Marilah kita perhatikan bersama tentang tanda yang besar hari kiamat, tentang Al-Mahdi, Dajjal, dan Isa 'alaihissalam.
Manakah yang lebih dahulu, Dajjal atau Isa? Dajjal mendahului Isa. Sedangkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadits
"Tidak akan datang zaman kepada kamu, kecuali yang
datang sesudahnya lebih buruk darinya."

Apakah yang dimaksudkan? Sedangkan Nabi Isa 'alaihissalam lebih baik daripada Dajjal. Untuk menghilangkan kemusykilan ini, para ulama mengatakan:
"Tanda-tanda besar hari kiamat memiliki urutan tersendiri".
Tetapi kita mendapatkan kemusykilan lain. Manakah yang lebih dahulu, Al-Hajjaj atau Umar bin Abdul Aziz? Mana yang lebih dahulu, mana yang terakhir? Anda tahu?
Al-Hajjaj lebih dahulu, semua sepakat, karena ini merupakan sejarah. Tetapi siapakah yang lebih utama, Umar bin Abdul Aziz atau Al-Hajjaj? Umar bin Abdul Aziz lebih utama. Sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
hadits
Tidak akan datang zaman kepada kamu, kecuali yang
datang sesudahnya lebih buruk darinya.

Hadits ini di dalam Shahih Bukhari. Bagaimana kita memahami hadits shahih ini?
Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam kitabnya, Siyar A'lamin Nubala, tentang biografi Al-Hajjaj:
"Kami membencinya, tidak mencintainya, kami memusuhinya, tidak membelanya, dia memiliki kebaikan-kebaikan yang tenggelam di dalam lautan kejahatannya yang sangat banyak."
Al-Hasan Al-Bashri berkata:
"Seandainya umat diminta oleh Allâh untuk menunjukkan orang yang paling jahat di antara mereka, dan kita membawa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, niscaya kita mengalahkan mereka!" [14]

Tentang Umar bin Abdul Aziz, apa yang dikatakan para ulama? Orang-orang Syi'ah mengatakan Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah ke lima, sehingga mereka punya alasan mencaci Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Tetapi kita mengatakan:
"Beliau (Mu'awiyah bin Abi Sufyan) adalah khalifah yang zuhud, khalifah yang shalih, khalifah yang mencintai ilmu dan ulama".
Beliau seorang yang shalih.
Maka bagaimana kita menghilangkan kemusykilan ini? Pertama kali yang perlu kita perhatikan sehingga kemusykilan ini hilang, bahwa di dalam pengutamaan, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak memaksudkan para penguasa dan para pemimpin. Jika beliau memaksudkan para penguasa dan para pemimpin, pastilah zaman Umar bin Abdul Aziz lebih baik daripada zaman Al-Hajjaj, sehingga ini menyelisih hadits. Tetapi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memaksudkan yang lain.
Apakah timbangan kita untuk menilai manusia? Agama. Kita tidak menilai zaman berdasarkan penguasanya. Yang dikehendaki Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah manhaj, pemahaman agama. Manhaj, yang dengannya kita memahami agama.
Manakah yang lebih utama, manhaj untuk memahami agama yang ada di zaman Al-Hajjaj atau zaman Umar bin Abdul Aziz? Di zaman Al-Hajjaj !
Karena Al-Hajjaj ada di zaman sahabat. Manhaj sahabat lebih murni, lebih bersih, lebih utama, dan lebih baik daripada manhaj tabi'in. Dan zaman Umar bin Abdul Aziz adalah zaman tabi'in. Sedangkan sahabat lebih utama daripada tabi'in.
Oleh karena inilah Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak menghendaki banyaknya harta yang diraih oleh salah seorang di antara kamu, tetapi yang beliau kehendaki ilmu."
Ilmu di zaman Al-Hajjaj lebih utama daripada di zaman Umar bin Abdul Aziz. Karena di akhir zaman, ketika manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, lalu para pemimpin itu ditanya, mereka menjawab dengan tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.
Kita mendekati datangnya hari kiamat. Hanya umat yang selalu bersama ulamanya, yang mampu membedakan fitnah, seorang 'alim yang membedakan.
Abu Nu'aim meriwayatkan di dalam Al-Hilyah dari Mak-hul Asy-Syami, (seorang tabi'i yang agung) dia berkata:
"Jika fitnah datang dan menampakkan kepalanya, seorang 'alim telah mengetahuinya dari kejauhan. Jika fitnah telah berpaling dan pergi, maka tiap-tiap orang jahil baru mengetahuinya".
Seorang 'alim menimbang segala perkara dengan syari'at. Sebelum fitnah datang, dia telah mengetahuinya. Sedangkan orang jahil, kapan dia mengetahui fitnah? Ketika fitnah telah pergi dan telah selesai. Maka apakah faidah dia mengetahuinya?
Laits bin Sa'ad, ahli fikih dari Mesir, berkata:
"Jika kamu melihat seseorang berjalan di atas air, janganlah kamu mendengarkannya, sampai kamu teliti perbuatannya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah".
Imam Syafi'i berkata:
"Semoga Allâh merahmati Laits, karena dia telah bersikap kurang. Adapun aku mengatakan: 'Jika kamu melihat seseorang berjalan di atas air, dan terbang di udara, janganlah kamu mendengarkannya, sampai kamu cek perbuatannya dengan Al-Kitab dan As-Sunnah'.
Seorang 'alim mengecek amalan manusia dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, sehingga dia mengetahui fitnah.
Fitnah lebih dahsyat jika terjadi fitnah buta; Sesuatu yang paling dahsyat atas kaum muslimin yang mencintai kebaikan dan mendapati ulama' diantara mereka.
Maka jika terjadi fitnah, sepantasnya bagi thalibul 'ilmi (penuntut ilmu) dan orang awam berdiri di belakang para ulama! Tidak mendahului mereka, dan tidak melewati batas terhadap mereka.
Sikap seorang mukmin di saat fitnah hendaklah kokoh di atas agamanya. Ketika melihat fitnah yang bertambah keras, hendaklah dia memohon ketetapan di atas agama kepada Rabbnya, agar Dia mematikannya dengan tidak tertimpa fitnah.
Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadits
Akan datang fitnah, lalu sebagiannya akan mengecilkan sebagian yang lain.
Kemudian akan datang fitnah, lalu seorang mukmin akan berkata:
"Inilah kebinasaanku".
Lalu fitnah itu hilang.
Kemudian akan datang fitnah,
lalu seorang mukmin akan berkata: "Inilah, inilah".

Seorang mukmin menjauhkan fitnah dari dirinya dan dari anak-anak kaumnya (masyarakatnya). Dia tidak merubah atau mengganti (agamanya). Dia menyukai dan mengutamakan kematian daripada agamanya tertimpa fitnah.
"Wahai Allâh, jika Engkau menghendaki fitnah menimpa kami, maka matikanlah kami dengan tidak terfitnah."
Inilah doa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi 'Ashim, Ibnu Khuzaimah, dan yang lain, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata dan berdoa:
"Wahai Allâh,
aku mohon kepadaMu amalan-amalan yang baik,
meninggalkan kemungkaran-kemungkaran,
mencintai orang-orang miskin,
agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku.
Jika Engkau menghendaki fitnah menimpaku dan kaumku,
maka ambillah aku ke hadirat-Mu dengan tidak terfitnah."

Diantara penyebab selamat dari fitnah adalah doa. Seorang mukmin mengutamakan kematian daripada agamanya terfitnah. Apakah faidah kehidupan seorang mukmin (jika tertimpa fitnah)? Hidup hanyalah beberapa tahun, kemudian keluar dari dunia menuju neraka jahannam -kita mohon perlindungan kepada Allâh-.
Seandainya dunia itu terbuat dari emas murni tetapi fana. Sedangkan akhirat terbuat dari tembikar, dari keramik tetapi kekal. Maka orang yang berakal akan mengutamakan tembikar yang kekal daripada emas yang fana. Lalu bagaimana jika akhirat terbuat dari emas murni, sedangkan dunia itu terbuat dari keramik ?
Oleh karena inilah, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat mohon perlindungan kepada Allâh dari fitnah.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berdoa yang artinya:
"Wahai Allâh,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.
Wahai Allâh sesungguhnya aku berlindung kepadaMu
dari malapetaka yang membahayakan dan dari fitnah yang menyesatkan."

Di dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas, suatu hari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:
"Bertanyalah kepadaku!
Maka para sahabat pun bertanya kepada beliau,
sehingga mereka mendesak dan memperbanyak pertanyaan.
Sehingga seorang lelaki berdiri.
Kebiasaan orang-orang jika berbantahan, mereka mencela nasab.
Lelaki itu berkata: "Wahai Rasulullah, siapakah bapakku?"
Beliau menjawab: "Bapakmu Hudzafah".
Mereka bertanya dan mendesak beliau dengan pertanyaan,
sampai Rasulullah marah.
Ketika Umar melihat kemarahan pada wajah beliau, dia berdiri dan berkata:
"Kami ridha Allâh sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami,
dan Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai Nabi dan Rasul.
Wahai Allâh sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari fitnah.”
Anas berkata:
"Maka aku perhatikan sekelilingku, dan aku dapati setiap orang
-yakni para sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam-
meletakkan pakaiannya pada wajahnya, menangis."

Para sahabat mohon perlindungan kepada Allâh dari fitnah. Maka seorang mukmin hendaklah selalu mohon kepada Rabbnya, mati di atas iman.
Termasuk doa yang paling banyak diucapkan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah yang artinya:
"Wahai Allâh Yang membolak-balikkan hati dan pandangan,
tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.
Wahai Allâh Yang memalingkan hati,
tetapkanlah hatiku di atas ketaatan kepadaMu."


[1]
Pengantar penterjemah:
Maksud fitnah dalam pembahasan ini adalah keburukan. Baik berupa kekafiran, kemaksiatan, dosa, musibah, kesusahan, pembunuhan, siksaan, dan perkara lainnya, yang tidak disukai.
Ar-Raghib mengatakan:
"Fitnah -dalam bahasa Arab- arti asalnya adalah memasukkan emas ke dalam api, untuk mengetahui yang baik dari yang jelek. Kemudian kata fitnah dipakai dengan arti: memasukkan manusia ke dalam neraka; siksaan; yang terjadi di saat siksaan; ujian; kesusahan atau kesenangan yang mengenai manusia, tetapi lebih sering digunakan dengan arti kesusahan. Fitnah bisa datang dari perbuatan Allâh, yang pasti mengandung hikmah. Juga bisa datang dari perbuatan manusia, tanpa perintah Allâh, dan ini tercela. Fitnah itu seperti: musibah, pembunuhan, siksaan, kemaksiatan, dan lainnya, yang merupakan perkara tidak disukai".
Orang lain mengatakan, bahwa asal arti fitnah adalah: ujian. Lalu dipakai dengan arti: perkara yang tidak disukai yang datang karena ujian. Kemudian dipakai dengan arti: segala perkara yang tidak disukai; atau yang membawa kepada perkara yang tidak disukai. Seperti: kekafiran, dosa, membakar, terbukanya aib, kejahatan, dan lainnya. (Lihat Fathul Bari, kitab Al-Fitan).
Inilah maksud kata fitnah yang dibicarakan oleh Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam pembahasan beliau ini. Sehingga bukan arti fitnah dalam bahasa Indonesia.
Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, termasuk anggota redaksi majalah Al-Ashalah, Yordania. Majalah yang menyebarkan dakwah Salafiyah. Salah seorang murid menonjol Syeikh Al-Albani ini juga produktif menghasilkan karya-karya tulis. Baik tulisan sendiri, bersama orang lain, atau hasil tahqiq (penelitian) dan takhrij (penjelasan sumber pengambilan hadits dan derajatnya) terhadap kitab ulama Salaf.
Di antara karya beliau adalah: Al-Qaulul Mubin Fii Akh-thail Mushallin (kitab yang membahas kesalahan seputar shalat); Kutub Hadzdzara Minha Al-Ulama (kitab yang membahas kitab-kitab yang perlu dijauhi oleh thalibul 'ilmi); dan banyak lagi yang lainnya.
Ceramah ini beliau sampaikan di Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya. Ceramah tersebut berjudul "Al-Fitan Wa Kaifa Yatajannabuha" (Fitnah-fitnah, Dan Bagaimana Cara Menjauhinya). Karena panjangnya ceramah, maka kami jadikan dua tulisan. Tulisan pertama berjudul: Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah, sedangkan tulisan kedua berjudul: Kiat Selamat Dari Fitnah.
[2]
Diterjemahkan oleh Abu Isma'il Muslim Al-Atsari, dari ceramah Syeikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, pada hari Selasa, 5 Muharram 1422 / 19 Maret 2002, di Ma'had Al-Irsyad Surabaya)
[3]
Lafazh hadits yang disampaikan Syeikh, nampaknya dari dua matan hadits. Yaitu hadits Abu Zaid Amr bin Akhthab dan hadits Hudzaifah bin Al-Yaman, keduanya riwayat Muslim di dalam kitab: Fitan.
Lafazh hadits Abu Zaid Amr bin Akhthab, dia berkata:
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam shalat subuh bersama kami, lalu beliau naik mimbar. Kemudian beliau berkhotbah, sampai waktu zhuhur tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah sampai waktu ashar tiba. Lalu beliau turun, kemudian shalat. Lalu beliau naik mimbar, kemudian beliau berkhotbah, sampai matahari tenggelam. Beliau memberitakan kepada kami apa yang akan terjadi, maka orang yang paling tahu di antara kami adalah orang yang paling hafal di antara kami. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa".
Adapun lafazh hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman adalah :
"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berdiri di satu tempat di antara kami. Di tempat berdiri itu, beliau tidak meninggalkan sesuatupun yang akan terjadi sampai hari kiamat kecuali beliau memberitakannya. Orang yang hafalpun hafal, dan orang yang lupapun lupa."

(-pent)
[4]
Pada ceramah Syeikh dengan lafazh:
"Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi pun, kecuali…".
Tetapi lafazh yang kami dapatkan dalam Shahih Muslim, apa yang kami tulis di atas -pent)

[5]
Yakni dalil yang mendukung untuk memberikan perhatian masalah fitnah/keburukan-pent)
[6] Kalimat dalam kurung ini tertinggal dari perkataan Syeikh (-pent)
[7] Kita mohon kepada Allâh agar kita termasuk mereka.
[8] Sedangkan Hajjaj seorang yang zhalim dan lalim.
[9]
Teks di dalam kurung tidak ada dalam ceramah Syeikh.
[10]
Rombongan dagang suku Quraisy yang pulang dari kota Syam, dan tidak bersenjata
[11] Dalam kurung ini ada dalam hadits, tidak dalam ceramah (-pent.)
[12] Riwayat Muslim, kitab: Al-Iman, bab Hilangnya Iman Di Akhir Zaman, dengan lafazh:
hadits
[13]
Sebagimana dalam sebuah hadits riwayat Malik dalam Muwatha' dengan lafazh: "Sesungguhnya Madinah akan ditinggalkan dalam sebaik-baik keadaan, sehingga anjing atau serigala akan masuk, lalu kencing pada sebagian tiang-tiang masjid atau di atas mimbar." Lihat:Fathul Bari IV/90 (-pent.)
[14] Yakni Al-Hajjaj adalah manusia yang paling jahat-pent.


 Sumber : http://www.majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=223:kaidah-kaidah-memahami-fitnah&catid=47:mabhats&Itemid=97 oleh : Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman[2]

Kiat-Kiat Mendapatkan Syafa'at[*]

Al Faih

(Muqoddimah & struktur bahasa disesuaikan)

Pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang dapat menolong seorang hamba, kecuali Allâh Ta'âla, kemudian amal-amal shalih yang dikerjakan seorang hamba, serta syafa’at Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
Berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan seorang muslim untuk mendapatkan syafa’at, yaitu :

1.
Tauhid dan Mengikhlaskan Ibadah Kepada Allâh Ta'âla Serta Ittiba’ Kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.





Tidak diragukan lagi bahwa tauhid sebagai penyebab yang paling besar untuk mendapatkan syafa’at pada hari Kiamat. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam pernah ditanya:
“Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu pada hari Kiamat?”
Nabi menjawab :
hadits
“Yang paling bahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat adalah, orang yang mengucapkan Laa ilaahaa illallaah
dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya”.
(HR Bukhari, no. 99)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata :
“Syafa’at, sebabnya adalah tauhid kepada Allâh, dan mengikhlaskan agama dan ibadah dengan segala macamnya kepada Allâh. Semakin kuat keikhlasan seseorang, maka dia berhak mendapatkan syafa’at. Sebagaimana dia juga berhak mendapatkan segala macam rahmat. Sesungguhnya, syafa’at adalah salah satu sebab kasih sayang Allâh kepada hambaNya. Dan yang paling berhak dengan rahmatNya adalah ahlut tauhid dan orang-orang yang ikhlas kepadaNya. Setiap yang paling sempurna dalam mewujudkan kalimat ikhlas (laa ilaahaa illallaah) dengan ilmu, keyakinan, amal, dan berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan, loyal kepada kalimat tauhid, memusuhi orang yang menolak kalimat ini, maka dia yang paling berhak dengan rahmat Allâh." (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, XIV/414 dengan ringkas).
2.
Membaca al Qur‘an





Dari Abi Umamah bahwasanya dia mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
"Bacalah al Qur‘an.
Sesungguhnya al Qur‘an akan datang pada hari Kiamat
sebagai pemberi syafa’at bagi sahabatnya…"
(HR Muslim, no.804)

Yang dimaksud dengan 'para sahabat al Qur‘an', adalah orang-orang yang membacanya, mentadabburinya, dan mengamalkan isinya.
3.
As-Shiyâm (Puasa)





Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
As-Shiyam (puasa) dan al Qur‘an akan memberi syafa’at
kepada seorang hamba pada hari Kiamat kelak.
Puasa akan berkata :
“Wahai, Rabbku.
Aku telah menahannya dari makan pada siang hari dan nafsu syahwat. Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Sedangkan al Qur‘an berkata :
“Aku telah menahannya dari tidur pada malam hari.
Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Maka keduanya pun memberi syafa’at.
(HR Ahmad, II/174; al Hakim, I/554; dari Abdullah bin ‘Amr.
Sanad hadits ini hasan.
Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim
dan disetujui oleh Imam adz Dzahabi.
Kata Imam al Haitsami, diriwayatkan oleh Ahmad
dan Thabrani dalam Mu’jam Kabir.
Rijal hadits ini rijal shahih. Lihat Majma’uz Zawaid III/181. Dishahihkan oleh al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 394)
4.
Doa Setelah Adzan





Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
Barangsiapa yang membaca ketika mendengar adzan :

‘Ya Allâh, Rabb pemilik panggilan yang sempurna ini
dan shalat (wajib) yang didirikan.
Berilah al wasilah (derajat di surga), dan keutamaan kepada
Muhammad (shallallâhu 'alaihi wasallam), dan bangkitkan beliau,
sehingga bisa menempati maqam terpuji yang engkau janjikan’.
Maka dia berhak mendapatkan syafa’atku pada hari Kiamat”.
(HR Bukhari no.614, dari Jabir bin Abdillah)



5.
Tinggal di Madinah, Sabar Terhadap Cobaannya, dan Mati di Sana.





Abu Sa’id pernah mendengar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah)
kemudian dia mati,
kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya,
atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat, jika dia seorang muslim.
(HR Muslim, no.1374, 477; dari Abu Sa’id al Khudri)
hadits
Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah
dan kesusahannya,
kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya
atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat.
(HR Muslim, no.1378, 484; dari Abu Hurairah)
hadits
Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah disana.
Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati disana.
(HR Ahmad, II/74,104; Tirmidzi, no.3917; Ibnu Majah, no.3112;
Ibnu Hibban, no. 3741, dari Ibnu Umar. Tirmidzi berkata:
“Hadits ini hasan shahih”)



6.
Shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam





Dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, bahwasannya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku
pada hari kiamat adalah, yang paling banyak shalawat kepadaku.
(HR Tirmidzi, no.484, Hadits Hasan)



7.
Shalatnya Sekelompok Muslim Terhadap Mayit Muslim.





Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh sekelompok orang Islam
yang jumlah mereka mencapai seratus,
semuanya memintakan syafa’at untuknya,
melainkan syafa’at itu akan diberikan pada dirinya.
(HR Muslim, no.947, 58)
hadits
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia,
lalu jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang
yang tidak menyekutukan Allâh dengan sesuatu apapun,
melainkan Allâh akan memberikan syafa’at kepadanya.
(HR Muslim, no.948, 59)



8.
Memperbanyak Sujud





Dari Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami, dia berkata:
“Aku pernah bermalam bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, lalu aku mendatangi beliau sambil membawa air untuk wudhu’ beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku :
’Mintalah!’
Aku berkata :
’Aku minta untuk dapat menemanimu di surga.’
kemudian beliau berkata :
‘Atau selain itu?’
Aku berkata :
’Itu saja.’
Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
hadits
"Tolonglah aku atas dirimu dengan banyak bersujud”
(HR Muslim, no.489, 226)

Demikianlah delapan faktor yang bisa menjadi penyebab seseorang mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad pada hari Kiamat, bila kita mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allâh dan ittiba’ (mengikuti contoh) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Adapun pendapat sebagian orang, bahwa di antara sebab-sebab untuk bisa mendapatkan syafa’at adalah dengan ziarah ke kubur Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang palsu, dan sama sekali tidak ada asalnya dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Seperti hadits, barangsiapa yang ziarah ke kuburku, maka dia berhak mendapatkan syafa’atku, dan masih banyak lagi yang lain.
Jadi, ziarah kubur Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam tidak termasuk faktor yang bisa menyebabkan seseorang untuk mendapatkan syafa’at, karena tidak adanya dalil-dalil yang shahih tentang masalah tersebut.


[*]
Dari sub judul rubrik Mabhats Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX dengan judul "Kiat Mendapatkan Syafa'at Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam"
 


oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ittiba' Kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Sebagai Perwujudan Syahadatain

Al Faqih

(Muqoddimah & bahasa disesuaikan)


Kita bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas segala nikmat yang telah dikaruniakan kepada kita. Nikmat yang Allâh Ta'âla karuniakan kepada kita sangat banyak dan tidak dapat kita hitung.
Allâh Ta'âla berfirman:
(QS Ibrahim/14 : 34)
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu)
dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh,
tidaklah dapat kamu menghitungnya.
Sesungguhnya manusia itu,
sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh)

(QS Ibrahim/14 : 34)


Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh, nikmat terbagi menjadi dua. Pertama, nikmat mutlaqah (mutlak). Yaitu nikmat Islam, iman, hidup berlandaskan sunnah, terhindar dari marabahaya. Hal ini dilimpahkan oleh Allâh Ta'âla hanya kepada orang-orang mukmin yang mencintaiNya. Kedua, nikmat muqayyadah (terbatas). Yaitu nikmat sehat, rizki, keturunan, makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Nikmat ini diberikan oleh Allâh, tidak hanya bagi kaum Mukminin, namun juga kepada orang-orang kafir dan munafiqin, sebagai bukti bahwa Allâh adalah Maha Pemurah kepada setiap hambaNya, baik yang taat maupun yang ingkar.
Kita wajib bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas nikmat yang telah diberikan kepada kita, berupa nikmat Islam dan nikmat berada di atas Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam yang mulia, serta nikmat ‘afiat dan keselamatan.
Setiap orang yang meyakini Islam sebagai agamanya, pada hakikatnya telah menyatakan persaksian dan pengakuannya dengan dua kalimat syahadat:
asyhaduan laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah
Aku bersaksi bahwa tiada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh,
dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allâh

Demikian juga halnya dengan orang yang hendak masuk Islam, maka dia wajib mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.
yang berarti “aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh”, mengandung makna laa ma’buda bi haqqin ilallah (tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allâh Ta'âla).[1]
Adapun makna adalah, tidak ada yang diikuti dengan benar kecuali hanya Muhammad Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, mengikuti selain Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tanpa dalil, berarti telah mengikuti kebatilan.
Allâh Ta'âla berfirman :
(QS al A’raaf/7 : 3)
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya,
amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)

(QS al A’râf/7 : 3)[2]

(QS an Nisaa’/4: 65)
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.
Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

(QS an Nisâ’/4: 65)

(QS al Ahzaab/33 : 36)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allâh dan RasulNya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allâh dan RasulNya, maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.

(QS al Ahzâb : 36)

Syahadat Muhammad Rasûlullâh mengandung konsekuensi sebagai berikut :
a.
, yaitu mentaati yang diperintahkan oleh beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.

Dalilnya antara lain :
(QS an Nisaa’/4:13)
Barangsiapa taat kepada Allâh dan RasulNya,
niscaya Allâh memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya;
dan itulah kemenangan yang besar.

(QS an Nisâ’:13)

b. yaitu membenarkan yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam sampaikan.
Dalilnya antara lain :
(QS al Hadiid/57 : 28)
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul),
bertaqwalah kepada Allâh dan berimanlah kepada RasulNya...

(QS al Hadîd : 28)
c.
, yaitu yaitu menjauhkan diri dari yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam larang.
Dalilnya antara lain :
(QS al Hasyr/59 : 7)
…Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allâh.
Sesungguhnya Allâh amat keras hukumannya.

(QS al Hasyr/59 : 7)
d.
, yaitu tidak beribadah kepada Allâh Ta'âla melainkan sesuai dengan cara yang telah disyariatkan. Dengan kata lain, kita wajib beribadah kepada Allâh Ta'âla menurut petunjuk yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam syari’atkan.
Dalilnya antara lain :
(QS Ali Imran/3 : 31)
Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku,
niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.
Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(QS Ali Imran : 31).[3]
Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam diutus kepada jin dan manusia, dan kita diperintahkan untuk beriman kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan ittiba’ kepada beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan nikmat yang besar bagi kaum Mukminin, sebagaimana Allâh Ta'âla berfirman :
(QS Ali ‘Imran/3 : 164)
Sungguh, Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al Kitab dan al Hikmah.
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

(QS Ali ‘Imran/3 : 164)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh (wafat th. 728 H) berkata:
”Kebahagiaan itu disebabkan karena mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Sedangkan kesesatan dan celaka disebabkan menyalahi petunjuk Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya, setiap kebaikan di alam semesta ini, baik yang sifatnya umum atau khusus, sumbernya dari diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Begitu juga semua kejelekan di alam semesta yang menimpa manusia, disebabkan penyimpangannya terhadap petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan tidak mengetahui apa yang dibawa beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bahwasanya kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat disebabkan ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam). Risalah kenabian dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Kebutuhan mereka kepada diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam di atas seluruh kebutuhan. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan ruh bagi alam semesta, cahaya dan kehidupan.” [4]
Beliau rahimahullâh juga berkata:
”Ar Risalah (diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memperbaiki kehidupan seorang hamba dalam hidupnya ini di dunia dan juga kelak di akhirat. Sebagaimana seorang hamba, dia tidak akan baik untuk kehidupan akhiratnya melainkan dengan mengikuti risalah, yaitu risalah Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Sebagaimana juga seorang hamba, dia tidak akan baik dalam kehidupan dunianya, melainkan dengan ittiba’ risalah. Sesungguhnya manusia sangat membutuhkan agama ini, karena dia hidup di antara dua gerak; (yaitu) gerak yang mendatangkan manfaat baginya dan gerak yang dapat menolak bahaya baginya.
Adapun syar’iat itu, adalah cahaya yang dapat menjelaskan apa-apa yang bermanfaat baginya dan apa-apa yang berbahaya. Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam untuk menjelaskan apa-apa yang bermanfaat bagi manusia, dan menjelaskan pula tentang apa yang berbahaya. Dan syari’at ini adalah cahaya Allâh Ta'âla di muka bumi ini, merupakan keadilan Allâh Ta'âla di antara hamba-hambanya, dan benteng Allâh Ta'âla yang sangat kokoh. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka dia akan aman.
Yang dimaksud dengan syari’at ini, bukan hanya sekedar membedakan yang bahaya dan manfaat dengan perasaan. Sebab kalau hanya dengan perasaan, maka hewan pun bisa membedakannya, keledai dan unta pun bisa membedakannya. Bahkan unta dapat membedakan debu dengan tepung. Tetapi yang dimaksud disini, ialah membedakan antara manfaat iman, tauhid, keadilan, kebaikan, jujur, amanah, sabar, amar ma’ruf nahi munkar, silaturahmi, berbuat baik kepada kedua orang tua dan tetangga, memenuhi hak, mengikhlaskan amal semata-mata karena Allâh, tawakal kepadaNya, ridha dengan qadha dan qadharNya, tunduk kepada hakNya, taat kepada perintahNya, loyal kepada wali-wali Allâh Ta'âla dan memusuhi musuh-musuhNya, dan seterusnya.”[5]
Apa yang kalian sembah? Dan bagaimana kalian menjawab seruan atau mengikuti para rasul? Imam Ibnul Qayyim, dalam muqadimmah kitabnya, Zâdul Ma’ad fi Hadyi Khairil ’Ibad,[6] beliau menjelaskan tentang makna dua kalimat syahadat :
yang berarti aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh Ta'âla. Dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menegakkan bumi dan langit, Allâh Ta'âla menciptakan seluruh makhluk dan mengutus seluruh rasul. Dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menurunkan kitab-kitabNya, Allâh Ta'âla menetapkan syariat-syariatNya.
Dan dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menegakkan timbanganNya dan meletakkan semua catatan amal. Dan dengannya manusia digiring ke surga atau ke neraka. Dengan kalimat ini, manusia terbagi menjadi dua. Yaitu mukminin (orang-orang yang beriman) dan kufar (orang-orang yang kafir), orang-orang yang baik dan yang jahat.
Kalimat ini merupakan sumber dari ciptân dan perintah, ganjaran dan siksa. Kalimat ini merupakan kalimat yang hak, yang dengannya Allâh Ta'âla menciptakan seluruh makhluk. Dan tentang kalimat inilah (dan kewajibannya terhadap kalimat inilah), manusia akan dihisab. Dengan kalimat ini, kiblat dan agama ini ditegakkan, dihunusnya pedang dan ditegakkannya jihad fi sabilillah. Dan ia merupakan hak Allâh Ta'âla yang wajib dipenuhi oleh seluruh hambaNya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, merupakan kalimat Islam, dan kunci untuk masuk ke surga. Dengan kalimat ini, seluruh makhluk yang pertama dan terakhir akan ditanya oleh Allâh Ta'âla, serta tidak akan bergeser kedua kaki hambaNya pada Hari Kiamat di hadapan Allâh Ta'âla, sehingga dia ditanya oleh Allâh Ta'âla tentang dua masalah :
Pertama, (apa yang kalian sembah?). Kedua, (bagaimana kalian memenuhi panggilan para utusanKu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam))?
Jawaban yang pertama, yaitu dengan mengimani kalimat Lâ ilaha illallâh, dengan mengucapkannya, memahami maknanya dan mengamalkannya. Jawaban yang kedua, yaitu dengan mengimani bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, dengan mengucapkannya dan meyakininya, dengan mentaati dan tunduk kepada beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam adalah orang yang amanah atas wahyu yang diturunkan Allâh Ta'âla kepadanya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam adalah seorang yang terbimbing dari seluruh makhluk yang ada. Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai utusan Allâh Ta'âla kepada para hambaNya.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa agama yang lurus, dengan manhaj yang lurus, sebagai rahmat bagi sekalian alam, sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa, sebagai hujjah (bukti) kebenaran atas seluruh makhlukNya. Allâh Ta'âla mengutus beliau shallallâhu 'alaihi wasallam ketika terjadi masa kekosongan para Rasul. Allâh Ta'âla tunjuki dengannya jalan yang paling lurus, dan jalan yang paling jelas. Allâh Ta'âla wajibkan atas seluruh hambaNya untuk mentaati, menolong, membantu, menghormati, mencintai beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dan menegakkan hak-hak atas beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Semua jalan akan ditutup oleh Allâh, kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada jalan yang dapat membawa seseorang masuk ke dalam surga, kecuali dengan mengikuti jalan yang ditempuh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Allâh Ta'âla menjadikan kerendahan dan kehinân bagi orang-orang yang menyelisihi jalan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, sebagaimana sabda beliau shallallâhu 'alaihi wasallam:
hadits
hadits
Aku diutus dengan pedang di hadapan Kiamat, sehingga Allâh disembah semata,
tidak ada sekutu bagiNya, dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku,
dijadikan kehinân dan kerendahan bagi orang-orang yang menyalahi perintahku.
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.

(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, II/50, 92; sanadnya hasan,
dari sahabat Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu.
Dihasankan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalany dalam Fathul Bari, VI/98)

Di dalam muqadimah kitab tersebut (Zadul Ma’ad), Ibnul Qayyim rahimahullâh menjelaskan secara tuntas tentang makna dua kalimat syahadat. Beliau menegaskan, setiap makhluk akan ditanya oleh Allâh Ta'âla tentang dua masalah besar dan penting. Yaitu, apa yang kalian sembah, dan bagaimana kalian memenuhi panggilan para utusanKu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam)?
Disebutkan dalam firman Allâh Ta'âla:
(QS al A’raaf/7 : 6)
Maka sesungguhnya, Kami akan menanyai ummat-ummat
yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka,
dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)

(QS al A’râf : 6)

Firman Allâh Ta'âla:
(QS al Qashash/28 : 65)
Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allâh menyeru mereka, seraya berkata:
“Bagaimana jawabanmu terhadap seruan para Rasul?”

(QS al Qashash : 65)

Ayat ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allâh Ta'âla? Apakah kita mentauhidkan Allâh Ta'âla dalam beribadah? Apakah kita mengikhlaskan setiap amal ibadah karenaNya? Hal ini merupakan perkara besar yang akan ditanyakan oleh Allâh kepada seluruh hambaNya. Adapun pertanyân yang kedua, apakah kita ittiba‘ (mengikuti/meneladani) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ataukah tidak? Hal inipun merupakan pertanyaan besar yang akan ditanyakan Allâh Ta'âla kepada seluruh hambaNya pada Hari Kiamat. Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk ittiba‘ kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Billahi taufiq.
[1] Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullâhdalam kitab al Ushul ats Tsalatsah tentang makna Muhammadur Rasulullah.
[2] Al Qaulul Mufiid fi Adillati Tauhid, hlm. 35, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin ‘Ali al Yamani al Wash-shaabi al ‘Abdali, Cet. VII, Maktabatul Irsyaad- Shan’a, Th. 1422 H.
[3] Syarah Ushul ats Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, al Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid.
[4] Majmu’ Fatâwa (XIX/93).
[5] Majmu’ Fatâwa (XIX/99).
[6]
Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, Tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al Arna-uth (I/34), Cet. Muassassah ar Risalah, Th. 1415 H.
Sumber : http://www.majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=255:ittiba-kepada-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam&catid=47:mabhats&Itemid=97

Oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas